Pokok-pokok Pikiran Reformasi Polri

Logo Polri (Ist)

Oleh: Irjen Pol (Purn.) M. Arief Pranoto

Ngobrol Filosofi-Spiritual Bersama Ichsanuddin Noorsy dan Arief Sulistyanto di Zhaidi-One Coffee, JakSel

Hingga detik ini, kebanyakan diskusi publik tentang Reformasi Polri hanya menyoal “apa yang terjadi” pada institusi Polri. Konsekuensi logisnya, topik bahasan berkisar pada hal-hal yang bersifat struktural fungsional semata. Termasuk Putusan MK No. 114/PUU-XXIII/2025 yang akan mengakhiri kontroversi penempatan anggota Polri aktif pada jabatan sipil—yang dinilai publik sebagai kerja cerdas MK dan seolah bergerak lebih cepat daripada Tim Reformasi Polri. Putusan itu tetap berada di ranah struktural fungsional. Secara esensial, Putusan MK 114/2025 belum keluar dari pola diskusi publik selama ini: fokus pada “struktur dan fungsi” yang tampak di permukaan.

Analoginya begini. Jika persoalan pokok di Polri diibaratkan sebagai “pohon masalah”, pembahasan publik selama ini (termasuk Putusan MK) baru menyentuh daun, ranting, atau cabang. Belum menyentuh batang, apalagi akar. Selama pertanyaan filosofis yang dipakai hanya “apa yang terjadi”, kedalaman bahasan akan berhenti pada level struktural fungsional: mengurus daun, merapikan ranting, memotong cabang. Fokus berhenti pada gejala, bukan sumber.

Pertanyaan yang lebih tepat seharusnya bukan sekadar, “Apa yang terjadi?”, melainkan, “Apa yang sesungguhnya terjadi?”

Ketika pertanyaan bergeser menjadi “apa yang sesungguhnya terjadi”, orientasi analisis ikut berubah. Pembahasan publik dan upaya reformasi terdorong menyentuh sisi yang bersifat struktural fundamental. Di situlah akar masalah berada.

Identifikasi Masalah

Identifikasi masalah di Polri merupakan langkah awal yang tidak bisa ditawar, baik oleh Tim Reformasi Polri maupun oleh entitas mana pun yang menggelar diskusi Reformasi Polri. Pertanyaan kuncinya:

“Mengapa sampai muncul ketidakpercayaan publik _(public distrust)_ atas kinerja Polri?”

Ketidakpercayaan publik ini tidak berhenti sebagai persepsi. Kondisi tersebut menjalar menjadi kekacauan dalam kehidupan publik _(public disorder)_. Gejalanya tampak di mana-mana, mulai dari perilaku berkendara di jalan raya di kota-kota besar hingga ke desa: aturan lalu lintas diabaikan, aparat dianggap bisa “diatur”, teguran hukum tidak lagi dipandang serius. Di tengah situasi semacam itu, perilaku penguasa yang enjoy the power akan menghantarkan kehidupan berbangsa pada pembangkangan publik. Rasa hormat kepada hukum berubah menjadi rasa tidak peduli.

Situasi semacam ini menuntut identifikasi masalah yang jernih ke dalam dua kluster besar:

1. Kluster struktural fungsional;

2. Kluster struktural fundamental.

Keduanya tidak boleh dicampur atau disamaratakan. Kluster struktural fungsional menyangkut hal-hal di hilir: prosedur, mekanisme, dan tata kelola yang tampak di permukaan. Kluster struktural fundamental menyentuh wilayah hulu: desain kekuasaan, arsitektur konstitusional, dan paradigma relasi antar-lembaga negara. Persoalan fundamental kerap tidak terlihat secara kasatmata, tetapi indikasinya kuat. Jika hulu keruh, hilir hampir pasti butek.

Pembendungan banjir masalah tidak cukup dilakukan di hilir. Bendungan di hilir hanya menahan luapan sesaat, tetapi tidak menghentikan sumber air yang meluap di hulu.

Akar Masalah Internal Polri: Sistem, Kultur, Kepemimpinan

Politisasi dari hulu hanya mungkin menjadi kronis jika bertemu dengan kerentanan di tubuh Polri sendiri. Akar masalah internal ini setidaknya mencakup tiga hal: 1) desain sistem karier dan jabatan yang sangat bergantung pada restu politik; 2) kultur organisasi yang terlalu lama hidup di bawah bayang-bayang kekuasaan eksekutif; serta 3) kepemimpinan yang sebagian lebih memilih aman secara politik daripada tegak menjaga marwah profesi.

Kombinasi tiga faktor ini membuat Polri sangat mudah ditarik menjadi alat kekuasaan, bukan lagi penjaga keadilan dalam kehidupan berbangsa.

Di tingkat praksis, politisasi berkelindan dengan runtuhnya meritokrasi. Jabatan strategis sering kali lebih dipengaruhi kedekatan, jasa politik, dan kemampuan menjaga kepentingan penguasa, bukan oleh rekam jejak, kompetensi, dan integritas. Situasi seperti ini mengirim pesan destruktif ke seluruh jajaran: loyalitas kepada figur dan kelompok seolah lebih menentukan masa depan dibanding loyalitas kepada hukum dan konstitusi. Pada titik tersebut, setiap jargon profesionalisme terdengar sebagai formalitas semata.

Internal Polri pada akhirnya menjadi ladang tarik-menarik antara panggilan profesi menjaga hukum dan tarikan kuat menjadi perpanjangan tangan kepentingan politik. Selama desain sistem, kultur, dan kepemimpinan tetap rentan, setiap momentum politik besar berpotensi menyeret Polri menjauh dari netralitas.

Politisasi Polisi sebagai Akar Public Distrust

Menebalnya _public distrust_ terhadap Polri tidak lahir dalam ruang kosong. Akar persoalannya adalah politisasi polisi dalam praktik pengabdian Polri yang tampil telanjang di ruang publik. Polri dianggap tidak lagi netral. Hal ini sudah menjadi rahasia umum.

Julukan “Partai Coklat” yang powerful sebagaimana pernah disampaikan Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-Perjuangan, merupakan isyarat kuat adanya keterlibatan Polri dalam politik praktis. Julukan itu tidak akan lahir jika masyarakat tidak merasakan realitas politisasi kekuasaan di tubuh aparat penegak hukum.

Pertanyaan berikutnya menjadi jauh lebih serius:

“Mengapa Polri yang bermoto ‘melindungi dan melayani’ dapat terseret sejauh itu dalam arus politisasi?”

Jawabannya tidak bisa hanya dicari di Perkap, di struktur organisasi, atau di SOP. Akar persoalan justru bersumber dari desain konstitusional, khususnya Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945 hasil Amandemen (1999 – 2002), yang sering diringkas sebagai UUD 2002:

“Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik dan/atau gabungan partai politik sebelum pemilu …”

Sekilas, pasal ini tampak biasa saja, seolah wajar dalam sistem presidensial modern. Justru di sini terletak titik awal sekaligus sumber politisasi di hampir seluruh lini kehidupan berbangsa dan bernegara sejak bangsa ini menganut UUD 2002.

Beberapa tesis dapat diajukan:

Pertama, kedaulatan rakyat tereduksi menjadi kedaulatan partai. Presiden dan wakil presiden tidak lagi lahir dari rahim kedaulatan rakyat yang diartikulasikan melalui MPR sebagai lembaga tertinggi negara, melainkan “dibidani” oleh partai politik atau gabungan partai politik. Dalam UUD 2002, MPR diturunkan statusnya menjadi lembaga tinggi negara, setara dengan DPR, MK, DPD, BPK, dan lainnya. Perubahan ini menggeser poros kedaulatan dari rakyat (via MPR) ke partai politik.

Kedua, kedudukan presiden menjadi sangat powerful.

Presiden memegang kendali penunjukan hampir semua pejabat negara strategis: Kapolri, Panglima TNI, pimpinan KPK, dan lain-lain. Proses pembentukan undang-undang pun tidak lepas dari orbit kekuasaan presiden. Arus kekuasaan terkonsentrasi pada satu titik. Dari sinilah benih politisasi di semua lini menyebar. Presiden sangat berpotensi berperilaku _“I’m the Law, I’m the King”_ dalam praktik, meskipun tidak pernah diucapkan secara eksplisit.

Ketiga, politisasi melahirkan kriminalisasi dan komersialisasi.

Kriminalisasi kerap diarahkan kepada lawan politik atau oposisi, sedangkan komersialisasi dibagikan kepada kelompok pendukung, _buzzer, influencer,_ dan jejaring patronase lainnya. Dalam situasi seperti ini, meritokrasi tersingkir. Jabatan strategis sering diisi figur yang tidak kompeten dan minim integritas, selama mereka loyal secara politik.

Keempat, ketiadaan mekanisme hubungan tata kerja antarlembaga.

Hingga kini belum ada mekanisme hubungan tata kerja antarlembaga yang jelas. Akibatnya, arus “air kekuasaan” mengalir ke berbagai arah tanpa kanal yang transparan dan akuntabel. Publik sulit menelusuri siapa bertanggung jawab atas apa.

Kelima, setiap simpul kekuasaan berpeluang bertindak semena-mena.
Ketiadaan desain hubungan antarlembaga yang tegas membuka ruang lebar bagi penyalahgunaan kewenangan di setiap simpul kekuasaan. Pada titik ini, korupsi dan penyimpangan bukan sekadar kemungkinan, melainkan konsekuensi yang nyaris otomatis.

Masih banyak hal lain yang dapat diurai dari sistem presidensial yang inkonsisten ini. Intinya, Pasal 6A Ayat (2) UUD 2002 beserta dampak berantai yang ditimbulkannya merupakan pokok persoalan struktural fundamental dalam Reformasi Polri.

Selama akar masalah ini dibiarkan, pembenahan di level struktural fungsional hanya akan menjadi tambal sulam. Upaya reformasi di hilir tidak akan pernah tuntas selama hulunya tetap keruh. Bendungan di hilir mungkin menahan air sesaat, tetapi cepat atau lambat akan jebol.

Reformasi Berlapis: Dari Konstitusi hingga Kultur

Jika akar masalahnya bersifat struktural fundamental, solusi yang diajukan juga wajib menyentuh level fundamental. Namun solusi di tingkat konstitusi perlu dijalankan bersama pembenahan di tubuh Polri sendiri. Reformasi yang serius menuntut pendekatan berlapis.

1. Level konstitusi dan desain negara

▪️Mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara guna mengakhiri dominasi kedaulatan partai dan mengembalikan kedaulatan rakyat pada tempatnya. Presiden kembali diposisikan sebagai mandataris rakyat melalui MPR, bukan sebagai “produk eksklusif” partai politik.

▪️Menghidupkan kembali GBHN sebagai kompas bersama. Setiap presiden terikat oleh haluan negara yang disepakati secara konstitusional, bukan hanya oleh visi-misi pribadi atau partai. Polri, TNI, serta lembaga penegak hukum lainnya bergerak dalam kerangka haluan negara yang berkesinambungan.

▪️Menyusun mekanisme hubungan antarlembaga negara yang jelas sehingga aliran kewenangan dapat ditelusuri, diawasi, dan dimintai pertanggungjawabannya. Dari desain ini, ruang untuk politisasi dan penyalahgunaan kekuasaan dapat dipersempit secara sistemik.

2. Level desain kelembagaan Polri*

▪️Penataan ulang mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri agar lebih transparan, berbasis rekam jejak dan kompetensi, serta tidak terlalu tergantung selera politik sesaat.

▪️Penguatan sistem pengawasan eksternal yang independen terhadap kinerja Polri, dengan mandat yang jelas dan akses informasi yang memadai.

▪️Penegasan kembali posisi Polri sebagai alat negara yang berdiri di atas semua golongan, bukan alat kekuasaan yang melayani rezim.

3. Level manajemen SDM dan sistem karier

▪️Reformasi sistem promosi jabatan yang benar-benar berbasis merit, rekam jejak integritas, kinerja profesional, serta kemampuan memimpin.

▪️Penghentian praktik “balas jasa politik” dalam penempatan jabatan strategis.

▪️Penyediaan mekanisme perlindungan karier bagi anggota yang menjaga integritas meskipun tidak populer secara politis, agar pesan yang menguat di internal adalah: kejujuran dan profesionalisme tidak merugikan masa depan.

4. Level kultur dan kepemimpinan Reorientasi; pendidikan dan pelatihan dari sekadar _skill enforcement_ menjadi pendidikan nilai: amanah, keadilan, keberanian moral, serta kesadaran bahwa setiap kewenangan akan dipertanggungjawabkan.

▪️Penguatan keteladanan pimpinan pada semua level. Pemimpin Polri perlu menunjukkan sikap tegas menolak pesanan politik yang melanggar hukum, sekaligus memberi perlindungan kepada anggota yang menjalankan tugas sesuai aturan.

▪️Pembangunan kultur internal yang mengembalikan kebanggaan utama anggota Polri pada integritas dan pengabdian, bukan pada kedekatan dengan lingkaran kekuasaan.

Keempat lapis ini saling terkait. Konstitusi yang sehat tanpa pimpinan yang berani tidak akan melahirkan Polri yang berwibawa. Kultur profesi yang baik akan terus tergerus selama arsitektur kekuasaan tetap membuka peluang politisasi. Reformasi Polri yang hanya menyentuh struktur fungsional—tanpa menyentuh desain konstitusional yang melahirkan politisasi—ibarat membenahi seragam dan barisan, sementara kompas arah perjalanan tetap rusak.

Penutup: Amanah, Kedaulatan dan Masa Depan Polri

Reformasi Polri pada akhirnya bukan hanya soal menata kembali lembaga negara, melainkan menata kembali kesadaran bahwa kekuasaan adalah amanah. Aparat penegak hukum yang tunduk kepada pesanan politik sesaat pada hakikatnya sedang mengkhianati kepercayaan rakyat dan menyiapkan dakwaan bagi dirinya sendiri di hadapan Allah kelak.

Solusinya terang: kembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara guna memutus jerat politisasi, hidupkan kembali GBHN, dan susun hubungan antarlembaga yang tegas agar kekuasaan dan kewenangan mengalir secara jelas, transparan, dan akuntabel. Di saat yang sama, bersihkan desain kelembagaan, sistem karier, dan kultur internal Polri dari segala bentuk politisasi.

Langkah-langkah tersebut menjadi prasyarat agar rakyat benar-benar kembali berdaulat, dan Polri dapat menjalankan tugas pengabdian sebagai aparat penegak hukum yang merdeka dari tekanan politik, selaras dengan amanah konstitusi dan tuntunan nurani keadilan. **

Exit mobile version