Skenario peloyoan secara sistimatis itu dapat kita baca dengan mudah pada penggalangan kelompok bohir, dari anasir overseas ataupun mereka yang telah bercokol di Tanah Air ini. Mereka kompak harus berpihak kepada kandidat lemah dan stupid. Berapa ribu trilyun pun akan diladeni. Yang penting, kandidat yang jauh di bawah standar ini berhasil manggung. Harapannya jelas: pemimpin yang di bawah standar ini bukan hanya leluasa digiring cara pandangnya agar kebijakannya selalu mengakomodasi kepentingan para bohir.
Karena itu, persekongkolan tidak hanya main di sektor pendanaan, tapi sejumlah tindakan strategis yang mampu membalikkan posisi hasil suara dengan daya teknologi informasi yang super canggih. Tak hanya terhenti di situ. Ragam lainnya seperti intimidasi juga dilakukan, terutama terhadap kalangan opertator teknologi informasi, penegak hukum dan lembaga terkait lainnya yang terus mengawal sampai sang kandidat di bawah standar ini berhasil manggung. Tak peduli dengan moralitas hukum, apalagi agama dan apapun kata dunia. Moral hazard berlaku secara total foot-ball.
Yang perlu kita catat sebagai hal kelima adalah pemberlakuan ABK hanya dijadikan pintu masuk untuk bermain politik secara leluasa bagi kaum kalangan oligarkis. Hanya satu tujuan utama dari ragam permainan para oligarkis itu: mengendalikan sang pemimpin boneka, untuk menguasai seluruh sumber daya strategis negeri ini, tanpa harus menjajahnya secara fisik.
Dengan donasi sekitar seribu atau dua ribu trilyun rupiah, sudah mampu menguras kekayaan negara yang bernilai puluhan bahkan ratusan ribu trilyun, tanpa kendala regulasi dan operasional di lapangan. Bahkan, mereka mendapat pengawalan khusus. Sungguh memprihatinkan, perampokan yang tak terbatas nilainya, tanpa mempedulikan hak-hak rakyat yang “dijajahnya”. Itulah manuver para bandit kapitalis-globalis saat ini.
Dengan skanario itu, para oligarkis senantiasa berpihak pada partai besar yang memang berpotensi mampu memenangkan kontestasi. Sementara, partai yang didekati dan dijadikan mitra (komprador) pun mengukuhkan pendirian, tak ada makan siang gratis. Refleksinya, partai-partai besar siap berkolaborasi dengan kalangan oligarkis-globalis, tapi haruslah kompensasional. Inilah yang membuat pemimpin partai menunjukkan taringnya: siapapun kadernya yang tidak sejalan atau tidak tunduk terhadap garis partai dipersilakan out, atau cari partai lain.
Sikap arogansi pemimpin partai seperti itulah sebagai hal keenam – membuat kader-kader terbaik partai terkubur jika partai tidak merekomendasikannya sebagai calon presiden. Sang kader hanya mampu sendiko dawuh. Manut. Hal ini membuat partai bukan hanya jumawa, tapi mendorong partai berperilaku semakin diktator.
Sebagai partai politik yang sesungguhnya menjadi aktor pembumian nilai-nilai demokrasi harusnya mengajarkan prinsip demokrasi, dalam bentuk menghargai hak-hak para kader dan masyarakat lainnya, tapi justru sebaliknya: tidak mendidik dan melecehkan personalitas sang kader.
Yang perlu kita catat lebih lanjut, perilaku diktatorisme dan arogansi sang pemimpin partai menumbuhkan budaya menjilat: yang penting ketua umum partai senang, meski sejatinya semu. Perilaku menjilat itu mau tak mau terpaksa harus dilakukan.
Demi, kepentingan politik pribadinya aman. Sungguh tidak sehat dalam konsep membangun budaya politik yang mencerahkan. Karena, sikap penjilatan itu tidak akan mendorong kadernya responsif terhadap dinamika yang terjadi di tengah masyarakat. Mereka akan lebih melihat dan menunggu ketika harus menjalankan tugas partai terkait kepentingan rakyat. Semua kader ada dalam kendali sang pemimpin utama partai.