Oleh: Agus Wahid
Masih belum berubah. Yaitu Presidential Threshold atau ambang batas kepresidenan (ABK) 20%. Uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017 yang diajukan sejumlah kalangan pada 2018 tidak dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan alasan ABK untuk menyederhanakan jumlah partai sekeligus memperkuat sistem presidential. Jika tetap tak berubah, maka sistem pemilu kepresidenan pada 2024 mendatang juga tetap akan memberlakukan ABK itu.
Kita perlu mencatat, bagaimana kedudukannya di hadapan konstitusi dana tau sistem demokrasi. Jelaslah sangat paradoks. Ketentuan ini menabrak prinsip demokrasi sekaligus tujuan utama kontestasi kepemimpinan nasional dalam upaya demokratis mendapatkan calon pemimpin yang kridebel, mumpuni dan berintegritas yang siap mengantarkan negeri ini lebih maju, serta mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan secara riil, bukan janji semata. Sesuai amanat konstitusi atau pesan pendiri negeri ini.
Yang perlu kita cermati lebh jauh, bagaimana dampak destruktif dari pemberlakuan ABK itu? Haruskah ABK yang sangat diskriminatif dan destruktif ini dipertahankan? Apakah implikasi faktual tentang ketidakmampuan sang pemimpin produk ABK saat ini tidak dijadikan pelajaran berharga untuk mengkaji ulang penolakan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak uji materi Pasal 222 UU No. 7 Tahun 2017, terkait ABK itu?
Dalam kaitan itu, ada beberapa dampak yang perlu kita analisis lebih jauh. Pertama, PT 20% tersebut hanya mendorong gerakan koalisi partai untuk kepentingan pragmatis. Jauh dari cita-cita dan tujuan perhelatan pemilihan kepemimpinan nasional. Gerakan koalisi secara langsung atau tidak hanya mengakibatkan faksi politik dalam gugus kesatuan negara tercinta ini. Dampaknya jelas, perpecahan di level grass-root, bahkan kalangan elitis, minimal semasa proses politik kontestasi.
Fakta bicara, residu politik itu terus terpelihara meski perhelatan sudah usai, sehingga konflik diameteral sering kita saksikan di jagad negeri ini. Pemandangan buruk itu masih terasa dan terlihat. Sampai detik ini. Dalam bentuk kriminalisasi, gesekan sosial dan perlakuan diskriminasi hukum dan lainnya. Sangat tidak dewasa memang. Tapi, panggung politik masih menampak di negeri ini.
Di sisi lain sebagai hal kedua implikasi dari koalisi partai adalah memaksa pembatasan jumlah kontestan pemilihan kepresidenan, baik sebagai partai ataupun sosok personal. Dalam perspektif demokrasi, pembatasan itu jelas-jelas menggambarkan pemasungan dan atau mengubur hak asasi politik kandidat manapun, padahal posisi hukumnya dijamin prinsip demokrasi dan konstitusi (Pasal 28 UUD 1945). Ketiga, pemberlakuan ABK tersebut secara langsung atau tidak – mengamputasi, setidaknya mengabaikan, warga negara yang punya kompetensi mumpuni, berkarakter dan punya rekam jejak yang baik dari sisi integritas.
Yang memprihatinkan, ketentuan ABK – secara langsung – berlaku bagi kandidat yang berada di luar kandang partai, sehingga ia atau mereka tak punya hak atau kesempatan memimpin. Maka, merupakan kerugian besar bagi bangsa dan negara jika kandidat yang terhadang itu terketagori memenuhi prasyarat sosok pemimpin ideal yang sejatinya dicari untuk bangsa dan negeri ini, apalagi negara sedang dilanda krisis multidimensi yang cukup serius.
Sebuah renungan sebagai hal keempat apakah pemberlakuan PT memang dirancang untuk menghadang kandidat potensial? Dengan kata lain, apakah desain PT memang untuk mengantarkan sosok pemimpin stupid sehingga tak akan jeli dalam membaca sejumlah skenario jahat bagi entitas negeri ini? Jika arahnya ke sana, berarti ada pihak tertentu yang – secara terencana – terus menggalang kekuatan strategis untuk meloyokan tata-kelola negara atau pemeritahan yang visioner, berkemajuan, berkedaulatan dan pro kerakyatan penuh. Peloyoan ini sama artinya mengungkap upaya politik “penggadaian” negeri ini kepada pihak tertentu, apakah unsur asing atau bersama komprador domestik. Satu hal yang perlu disadari, pihak asing tak mudah melakukan manuver di tengah negeri ini tanpa persekongkolan dengan asong. Inilah panorama yang dapat kita saksikan dengan kasat mata.