Prof. Dr. Muhammad Said Sambut Baik Nama RM Margono Djojohadikusumo Dianugerahi Gelar Pahlawan Nasional

Direktur eksekutif CP2SI, Prof. Dr. Muhammad M Said.

JAKARTA, Mediakarya – Nama RM Margono Djojohadikusumo yang juga kakek Presiden Prabowo Subianto  kembali mengemuka dan diusulkan menjadi pahlawan nasional. Figur pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) ini tak hanya menjadi bahan kajian dalam seminar nasional dan peluncuran buku biografi, tetapi juga menjadi pusat perhatian dalam perdebatan publik mengenai kepemimpinan dan arah moral bangsa.

Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang juga Alumni Program Pendidikan Singkat Angkatan (PPSA) 23 LEMHANNAS RI, Prof. Dr. Muhammad Said menilai bahwa kemunculan kembali figur RM Margono bukanlah kebetulan semata.

“Bangsa ini tengah mengalami krisis etika politik dan moral publik. Dalam situasi seperti itu, tokoh-tokoh seperti RM Margono hadir bak cahaya dari arsip sejarah yang memberi inspirasi baru,” ujar Prof. Said dalam keterangannya baru-baru ini.

Prof. Said menilai RM Margono bukan hanya tokoh teknokrat pendiri BNI, tetapi juga seorang diplomat ekonomi dan arsitek fiskal yang memiliki berperan penting dalam masa transisi Indonesia dari era kolonial menuju kemerdekaan penuh.

RM Margono diketahui lahir pada 16 Mei 1894 di Banyumas, Jawa Tengah. Latar belakang keluarganya yang berasal dari kalangan priyayi Jawa membuatnya akrab dengan tradisi pelayanan publik. Pendidikan formalnya ditempuh di OSVIA (Sekolah Pamong Praja Pribumi) dan kemudian di Rechtshoogeschool Batavia, yang kala itu merupakan lembaga pendidikan tinggi hukum prestisius.

Meski dididik dalam sistem pendidikan kolonial, RM Margono tetap berpijak pada nilai-nilai kebangsaan dan keberpihakan pada rakyat. Hal itu tercermin dalam kiprah monumental saat mendirikan Bank Negara Indonesia (BNI) pada 5 Juli 1946, sebagai bank nasional pertama yang berdiri mandiri tanpa pengaruh kekuasaan Belanda.

“Saya mendirikan BNI sebagai bank milik bangsa Indonesia, untuk mendukung kelancaran pemerintahan dalam bidang keuangan dan perekonomian masyarakat,” kutip Prof. Said dari memoar RM Margono Reminiscences from Three Historical Periods.

Kontribusi penting lainnya adalah ketika RM Margono menjabat sebagai Ketua Delegasi Urusan Keuangan Republik Indonesia Serikat dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949. Di forum tersebut, Margono memainkan peran strategis dalam menjaga kedaulatan fiskal Indonesia dan menolak jeratan utang kolonial yang diwariskan Belanda.

“Ia tidak memilih konfrontasi, tetapi diplomasi substansial. Prinsipnya adalah Indonesia harus merdeka secara fiskal, setara dalam bicara, dan sejajar dalam martabat,” terang Prof. Said.

Diplomasi ekonomi dan fiskal ala RM Margono membuahkan hasil penting: transisi penguasaan lembaga keuangan nasional, pemisahan sistem fiskal dari Belanda, dan pembentukan sistem ekonomi yang independen.

Menurut Prof. Said, kiprah Margono sangat relevan dalam konteks Indonesia hari ini, ketika negeri ini menghadapi tekanan geopolitik dan dominasi oligarki ekonomi.

“Kita butuh kekuatan moral seperti beliau. Dalam situasi dunia yang sedang mencari arah, Indonesia memerlukan panutan yang jujur, berintegritas, dan setia pada nilai-nilai Pancasila,” tegasnya.

Lebih lanjut, Prof. Said menyarankan agar RM Margono Djojohadikusumo dianugerahi gelar Pahlawan Nasional, mengingat kontribusinya yang besar dalam memperjuangkan kemerdekaan, membangun sistem ekonomi nasional, dan memperkuat diplomasi keuangan Indonesia.

“Sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2009, Margono memenuhi kriteria sebagai Pahlawan Nasional: dedikasi, integritas, dan keteladanan. Sudah saatnya kita mengenang jasa beliau secara nasional dan institusional,” ujar Prof. Said.

Sebagai penutup, Prof. Said menegaskan bahwa mengenang RM Margono bukan semata agenda sejarah, melainkan tanggung jawab kolektif untuk menanamkan nilai patriotisme dan membangun bangsa berlandaskan integritas dan semangat pengabdian.

“Dari Margono lahir Sumitro, dan dari Sumitro lahir Prabowo. Sejarah keluarga ini adalah narasi keberlanjutan pengabdian, dari teknokrat ke negarawan. Sudah waktunya kita menjadikan sejarah ini sebagai kekuatan moral bangsa,” pungkasnya.**

 

Exit mobile version