PSEL Maupun PLTSa Dinilai Bukan Solusi Permasalahan Sampah di Kota Bekasi

Tumpukan sampah di TPST Bantargebang

KOTA BEKASI, Mediakarya – Permasalahan sampah merupakan salah satu tantangan terbesar bagi pemerintah Kota Bekasi. Volume sampah yang terus meningkat seiring pertumbuhan populasi dan urbanisasi memperburuk situasi ini.

Di mana saat ini poduksi sampah masyarakat Kota Bekasi 1.800-2.000 ton perhari, dengan komposisi 60% sampah basah (organik) dan sisanya 40% sampah kering (anorganik)

Namun sayangnya, permasalahan sampah di Kota Bekasi, semenjak berdirinya Kota Bekasi hingga saat ini belum ada solusi yang signifikan.

Celakanya, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) pemerintah kota Bekasi tetap mempertahankan cara klasik, yakni dengan pola open dumping (sistem pembuangan sampah d llahan terbuka tanpa proses pengendalian).

Padahal, TPA milik Pemkot Bekasi dengan luas  lahan 22 hektar hanya tersisa 5% untuk menampung sampah yang setiap hari diperkirakan terus bertambah dan menggunung.

Menanggapi permasalahan tersebut, Direktur Eksekutif Politik Nusantara Sejahtera, Noor Fatah, menilai kondisi eksisting TPA sampah Sumurbatu sudah melebihi kapasitas sehingga butuh perluasan lahan.

Pasalnya, jika Pemkot Bekasi mengabaikan kondisi tersebut maka akan berdampak pada pencemaran air tanah akibat rembesan air Lindi, berdampak pencemaran udara dari gas metan, dan menjadi sarang penyakit buat masyarakat bagi vektor seperti lalat dan tikus.

Padahal pemerintah telah mengeluarkan Perpres nomor 109 tahun 2025 memperbarui Perpres nomor 35 tahun 2018 tentang penanganan sampah perkotaan melalui pengolahan sampah menjadi energi terbarukan berbasis teknologi ramah lingkungan.

Namun faktanya, secara empiris bahwa sampah masyarakat Indonesia menjadi energi listrik melalui proyek Pengolahan Sampah Menjadi Energi Listrik (PSEL) banyak mengalami kendala sampai mengalami kegagalan dan mangkrak.

“Terbukti di beberapa daerah mengolah sampah menjadi energi listrik PSEL, seperti TPST Bantargebang-Bekasi, PLTSa bangkrut, PLTSa Benowo-Surabaya, bermasalah AMDAL, PLTSa Putri Cempo-Solo bermasalah gagal; dan TPA Suwung-Bali, PSEL dibatalkan,” ujar Fatah kepada Mediakarya di Jakarta, Senin (8/12/2025).

Ironisnya, proyek PSEL yang konon menyerap anggaran 3 triliun per kota, dibiayai oleh Danantara disetujui 33 kota dengan prioritas 10 kota termasuk kota Bekasi.

“Proyek PSEL ini terkesan dipaksakan untuk menjadi solusi terhadap permasalahan sampah, padahal semestinya kegagalan proyek PLTSa di beberapa daerah itu jadi pelajaran kemudian dianalisa secara komprehensif sehingga pemerintah tidak terjebak dengan pola lama yang sebelumnya gagal,” tegasnya.

Oleh karenanya, dia menyarankan agar pemerintah daerah mengatasi persoalan sampah dari hulu ke hiir, di antaranya,  mengurai jenis dan komposisi sampah, baik sampah rumah tangga maupun sampah industri.

Sebagaimana karakteristik sampah:
1. Sampah mudah membusuk (organik)
2. Sampah plastik film
3. Waste-to-Energy (WtE)
4. Sampah daur ulang (anorganik)
5. Sampah B2 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Terkait bahan baku proyek pembangkit listrik PSEL (incenerator) membutuhkan >1000 ton perhari sampah kering yang memilki kalori tinggi; seperti jenis sampah mudah terbakar dan kandungan airnya rendah (anorganik); dimana jumlahnya lebih sedikit dari pada jenis sampah yang memiliki kalori rendah, seperti sampah organik di fase ini proyek PSEL menghadapi masalah.

“Jenis sampah organik yang volumenya lebih besar dari sampah anorganik; ternyata, belum diolah dan dimanfaatkan secara optimal, sistematis dan konsepsional; pada poin ini PSEL bukan solusi terhadap permasalahan sampah menjadi zero,” ujar Fatah.

Lebuh najut, urgensi lebih utama dan perlu menghadirkan teknologi pengolahan sampah organik yg dapat menghasilkan produk yang memiliki nilai tambah berkali-kali lipat guna mengerakkan sektor agrikultur yang dapat mendukung program swasembada pangan nasional, bahkan dapat menjadi lumbung pangan global (multiflier effect).

Dengan teknologi (Manejemen Sampah Zero (MASARO) dari ITB-Bandung,  pengolahan sampah organik menjad: Pupuk Organik Cair Istimewa (POCI) yang dapat melipatgandakan hasil produksi pertanian dan perkebunan dg kualitas Premium; Konsentrat Pakan ternak Organik Cair Istimewa (KOCI) membuat hasil memuaskan bagi sektor peternakan dan perikanan dengan  kualitas Premium.

“Sehingga, Waste-to-Energy (WtE), baik itu yang menghasilkan energi listrik maupun Waste to Energy yg menggerakkan sektor agrikultur; keduanya saling melengkapi (komplementer), sama-sama mengurangi sampah dan menciptakan ekonomi sirkular untuk kemakmuran dan kesejahteraan masyarakat,” tutup Fatah. (Supri)

Exit mobile version