Radiasi Cesium-137 Bukti Kelalaian Sistemik 20 Tahun dan Momentum Menghukum Pihak Bertanggungjawab

Sekjen IAW Iskandar Sitorus (Foto: Medkar)
  1. Pejabat Bea Cukai, membiarkan alat deteksi radiasi di pelabuhan tidak berfungsi. Pelanggaran pasal 3 Tipikor tentang penyalahgunaan wewenang.
  2. Pejabat BAPETEN yang gagal memastikan pergerakan bahan radioaktif diawasi dan tidak menindaklanjuti temuan LHP BPK.
  3. Pejabat KLH lalai pengawasan limbah B3 dengan tidak melakukan audit lingkungan pasca-penemuan radioaktif.
  4. Pejabat Kemenperin menyederhanakan persoalan di DPR dengan mengeluarkan pernyataan “sudah aman” tanpa data audit independen
  5. Pengelola kawasan industri sebab tidak menyediakan detektor dan tidak memeriksa scrap masuk.

Semua memenuhi unsur pasal 359–360 KUHP dan pasal 3 Tipikor.

Bahaya serius Cs-137 dan sensasi “aman” yang menyesatkan di RDP DPR

Cs-137 bukan bahan radioaktif biasa, karena ia memiliki:

  • Half-life 30 tahun,
  • Melekat pada logam, tanah, air, tanaman,
  • Bila masuk ke rantai makanan maka akan tersimpan di otot dan sumsum tulang,
  • Paparan kronis memicu kanker, infertilitas, kerusakan genetik.

Untuk bisa disebut “aman”, maka proses berikut ini wajib terjadi:

1. Dekontaminasi tuntas.
2. Survei gamma secara berkala 30–90 hari.
3. Audit laboratorium independen.
4. Publikasi laju dosis harian dan mingguan.
5. Pemantauan rilabilitas detektor.
6. Verifikasi BAPETEN + IAEA (jika perlu)

Tanpa ini, klaim “aman” hanya kalimat politik, itu bukan fakta ilmiah!

Dampak ekonomi dan industri sebagai ancaman terhadap Chareon Pokphand dan produk pangan

Kontaminasi radiasi di area industri pangan menimbulkan risiko:

  1. Cross-contamination pada rantai logistik.
  2. Penolakan ekspor unggas, pakan, dan makanan.
  3. Import alert dari negara-negara tujuan ekspor.
  4. Kehilangan reputasi industri pangan nasional.

Peringatan IAW: “Begitu Cs-137 masuk ke rantai makanan, reputasi Indonesia akan runtuh lebih cepat daripada radiasinya menghilang.”

Strategi hukum yang harus dilakukan Polri dan Kejagung

Tahap 1 (0–7 hari), tindak darurat, dimana Polisi terbitkan Surat Perintah Penyidikan. Segel fasilitas yang terkait; ita dokumen impor scrap dan periksa pejabat pengawas pelabuhan.

Tahap 2 (7–30 hari) dilakukan penyidikan forensik berupa: audit forensik alur scrap; telusuri rantai logistik; libatkan ahli radiasi independen dan kerja sama Interpol (jika scrap impor ilegal).

Tahap 3 (1–3 bulan) fase penuntutan untul twtapkan tersangka korporasi dan pejabat; gugatan perdata kerusakan lingkungan serta publikasi hasil audit radiasi.

Seruan IAW untuk negara

“Setiap detik penundaan adalah pengkhianatan terhadap konstitusi. Radiasi bukan menunggu, sebab radiasi bekerja setiap hari.”

IAW menuntut: untuk Polri dan Kejagung:

Exit mobile version