Bahkan seorang anak kecil dalam satu acara pengajian KH. Anwar Zahid di Pondok Pesantren Sabilunnajah, Bojonegoro-Jawa Timur mengatakan, “jadi anggota DPR haram karena suka makan uang rakyat
Ahmad Syahroni, Deddy Sitorus, Eko Patrio, Rahayu Saraswati Djojohadikusumo dll, belum lama ini mengeluarkan pernyataan dan sikap menghebohkan publik. Bukan sekedar menimbulkan kontoversi dan polemik, lebih dari itu para politisi tersebut seperti sedang memproklamirkan pertentangan kelas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Seakan dalam relasi sosial di bumi Pancasila ini masih kental perbedaan dan pertentangan kelas atas dan kelas bawah, antara si kaya dan si miskin, dan antara bos dan cecunguk.
Anggota DPR yang seharusnya bisa menjadi orang-orang terhormat dan amanah, justru terus mempertontonkan sikap feodal dan imperior. Sebagai wakil rakyat, mereka justru merasa menjadi majikan yang sok kuasa dan sewenang-wenang serta merasa paling hebat, paling pintar dan paling benar.
Ahmad Syahroni merespon kritik pembubaran DPR dengan menyebut rakyat tolol, mungkin karena dia sudah bergelar doktor dan kaya raya. Deddy Sitorus tegas meminta anggota DPR jangan disamakan dengan rakyat jelata terutama yang berpenghasilan UMR, beda kelas dan sesat pikir katanya, menyikapi kritik rakyat terhadap tuntutan penambahan gaji dan fasilitas anggota DPR. Eko Patrio, usai dikritik karena berjoget kegirangan saat kenaikan gaji dalam sidang paripurna MPR, malah kemudian kembali mengumbar joget bersama kolega partainya, seakan menantang rakyat.
Rahayu Saraswati Djojohadikusumo pun sama dengan mengatakan rakyat jangan bergantung pada pemerintah dan negara dalam mencari pekerjaan, seolah-olah ia lupa apa tugas dan kewajibannya menjadi anggota DPR. Masih banyak lagi anggota DPR yang tak menyadari atau sengaja abai untuk apa ia menjadi anggota DPR. Ada juga Nafa Urbach yang mengeluh sering kena macet dari rumahnya ke gedung Kura-Kura saat menyoal rumah dinas. Ia lupa konteks tanggungjawabnya sebagai pejabat negara bukan artis yang cenderung glamour.
Cara berpikir, berucap dan bertindak kebanyakan anggota DPR selama ini, justru tidak mencerminkan kadar intelektual dan kepemimpinan yang layak untuk mengurus kepentingan publik. Ternyata gelar akademis dan sederet pengalaman profesi tidak berimplikasi langsung pada kecakapan mengelola negara dan menyelenggarakan kesejahteraan umum. Banyak yang tidak belajar dan menganggap penting dari fenomena aktual Bupati Pati Sadewo dan massa aksi yang menggugatnya.
Data dan fakta dalam bingkai empiris, secara telanjang membuktikan parade kegagalan dan ketidakmampuan anggota DPR melakukan komunikasi massa yang cerdas, terarah dan terukur. Ketika mendapat tekanan publik karena kebijakan yang tidak berpihak pada rakyat, legislator itu kerap tidak merasa bersalah, membela diri dan acap kali berbalik menggurui rakyat.semua argumennya hanya berisi justifikasi. Sudah sering menindas dan memiskinkan rakyat dampak regulasi dari produk konstituante yang dibuatnya, DPR kerap melukai dan menyakiti rakyat dengan lidahnya yang tak bertulang namun setajam belati dan peluru menghujam kalbu rakyat.
Sungguh nama-nama anggota DPR tersebut hanya segelintir yang tampak dari sekian banyak politisi Senayan yang begitu jumawa, angkuh dan merasa elitis. Pertentangan kelas sangat nyata dengan perilaku borjuis dan hedon anggota DPR yang tidak ingin disejajarkan dengan rakyat jelata atau marhaen atau proletar sekalipun. Para legislator itu kerap, menghina, melecehkan dan merendahkan rakyat yang papa, marginal dan terbuang saat mempertahankan mati-matian negara bangsa yang dimilikinya.
Ahmad Syahroni dan Deddy Sitorus beserta kompatriotnya di parlemen, bukanlah pemimpin dan memang tak pantas menjadi pemimpin apalagi untuk diteladani. Kesombongan dan keangkuhannya, membuat mereka lupa bahwasanya mereka lahir dan besar berasal dari rahim rakyat dan akan kembali ke pangkuan rakyat, mati ataupun hidup, menjadi pahlawan atau penjahat dan pengkhianat sekalipun.
Merekalah yang sesat pikir dan cacat logika dalam memaknai filsafat historis dan filsafat materialisme terhadap konstitusi, demokrasi dan sistem nilai dalam masyarakat. Ahmad Syahroni dan Deddy Sitorus beserta gerombolan kolega politisinya, tidak mampu membunuh hawa nafsunya, untuk merasa paling tinggi, merasa lebih baik, merasa paling pantas dihargai dan dihormati, meskipun berharap dari rakyat sang majikan sesungguhnya dan pemilik kedaulatan negara sejatinya.
Berhentilah wahai para anggota DPR menjadi orang-orang yang lupa diri dan melampaui batas. Jika kemarin. hari ini dan yang akan datang belum juga memiliki kesadaran spiritual. Kultural dan moral, setidaknya masih tersisa kemanusiaan dan Ketuhanan dalam dimensi hati dan rasa. Sebaiknya jika berkenan dan mampu duhai anggota DPR yang tak lagi terhormat, segera keluar dari zona nyaman Kebun Binatang Senayan.
Penulis: Mantan Presidium GMNI