- Perencanaan kebencanaan tidak berbasis kajian risiko yang memadai.
- Sistem peringatan dini tidak terintegrasi hingga ke desa.
- Anggaran mitigasi selalu kalah dibanding anggaran tanggap darurat.
- Koordinasi antar kementerian dan pemda tumpang tindih dan lemah.
Dari satu periode ke periode berikutnya, temuan itu muncul lagi dengan kalimat yang hampir sama. Seolah-olah negara membaca, lalu melipat laporan audit itu, dan menyimpannya di laci.
Inilah dosa kebijakan kita, bahwa negara sudah diperingatkan secara resmi melalui mekanisme konstitusional audit, tetapi memilih berjalan seperti biasa.
Maka ketika banjir bandang dan longsor datang dengan kekuatan brutal, kita seharusnya tidak lagi bertanya, “Mengapa ini terjadi?” Pertanyaan yang lebih jujur adalah, mengapa peringatan 20 tahun ini diabaikan?
Hukum yang tajam di atas kertas, tumpul di lapangan
Undang-Undang Lingkungan Hidup sudah lama memberi senjata kepada negara yakni tanggung jawab mutlak, prinsip pencemar membayar, sanksi pidana berat, gugatan perdata untuk pemulihan.
Tapi dalam praktik, yang sering keluar hanya surat teguran, denda administratif ringan, atau pencabutan izin setengah hati. Jarang sekali kita melihat direksi korporasi duduk di kursi pesakitan karena merusak hutan. Lebih jarang lagi melihat aset hasil kejahatan lingkungan dirampas untuk memulihkan ekosistem.
Padahal korban banjir tahun ini adalah bukti hidup, dan bukti mati, bahwa kerusakan itu nyata, dan dampaknya mematikan.
Di mana negara saat bencana disiapkan?
Yang lebih menyakitkan bagi korban adalah ini: negara tidak sepenuhnya absen. Negara hadir memberi izin. Negara hadir membangun jalan ke kawasan yang rawan. Negara hadir lewat laporan audit. Negara hadir lewat peta risiko.
Tetapi negara sering tidak hadir dalam bentuk yang paling penting, yaitu keberanian untuk menghentikan, menertibkan, dan menghukum!
Di sinilah letak tanggung jawab moral dan hukum para pejabat yang dulu dan sekarang duduk di kementerian dan lembaga terkait lingkungan, kehutanan, PUPR, energi, hingga pemerintah daerah. Mereka bukan tidak tahu. Mereka tahu, dan seharusnya bisa memprediksi apa yang hari ini kita tangisi bersama!
Momentum negara untuk membuktikan niatnya
Pemerintah hari ini menyatakan niat untuk menegakkan hukum. Niat itu baik. Tapi rakyat tidak lagi butuh pernyataan. Rakyat butuh pembuktian. Langkah paling cerdas, paling cermat, dan paling adil adalah menggunakan pendekatan multi-pintu:
