Oleh Agus Wahid
Sungguh mulia. Itulah program vaksinasi Tuberculosis (TBC). Bagaimana tidak” Vaksinasi yang kini format kebijakannya sedang diproses dan diberlakukan itu tampak sarat dengan dimensi kemanusiaan. Yaitu, merancang anak bangsa sehat, at least dari micobakterium culosis. Data menunjukkan, penderita TBC di tanah Air ini mencapai kisaran 889 ribu orang per tahun 2024 atau sekitar 3,218% dari penduduk nasional.
Memang kecil prosentasenya. Tapi, atas nama keadilan, mereka tetap harus diperhatikan. Merupakan hak asasi bagi setiap warga negara yang sehat jasmani (Pasal 28 UUD 1935). Data bicara. Jumlah Penderita TBC cenderung naik. Karenanya harus ada terobosan pencegahan. Sementara, pengobatan TBC tergolong mahal dan lama pemulihannya: mencapai enam bulan. Harus diobati secara rutin. Tak boleh ada jeda. Inilah problem pengobatan TBC. Dan data bicara, inisiasi pengobatannya baru mencapai kisaran 81% dari 90% yang ditarget.
Persoalannya, apakah kebijakan itu murni untuk mencegah bangsa ini dari ancaman penyakit TBC? Atau, ada tujuan lain di balik kebijakan yang notabene berdimensi prokemanusiaan? Pertanyaan itu memaksa kita harus mencermati variabel lain. Yaitu, potensi agenda terselubung atau tersembunyi (hidden agenda) di balik kebijakan vaksinasi TBC yang bermisi kemanusiaan itu. Kecurigaan itu berangkat dari siapa yang mengendorse persoalan vaksinasi TBC. Data bicara, sosok yang mengendorse adalah Bill Gate, seorang trliuner berkewanegaraan Amerika Serikat keturunan Yahudi Zionis.
Dua entitas itu pertama sebagai pebisnis tingkat dunia. Sebagai pebisnis, karakternya akan selalu menatap pangsa pasar dunia yang harus direngkuh tanpa batas. Yang kedua, sebagai bangsa Yahudi Zionis, ia tak bisa lepas dari Protokol Zionis. Sekali lagi, sebagai pebisnis, Bill Gate tak akan pernah berhenti mencari terobosan. Dia tidak akan puas hanya dalam pasar domestik, katakanlah sebatas wilayah AS. Otaknya selalu berfikir how to get the international market.
Untuk menjustifikasi langkahnya, Bill Gate mengambil langkah kemitraan dengan sejumlah lembaga dan atau individu sebagai periset independen. Meski harus mengeluarkan dana jutaan dolar, tapi strategi kemitraan untuk kegiatan riset secara independen bisa mengelabuhi misi terselubungnya. Sangat brilian langkah kemitraan riset itu. Masyarakat internasional bisa ditaklukkan. Pendekatannya bukan langsung ke pangsa pasar (user) yang bebas pilih, tapi ke para pemimpin dunia. Dengan pendekatan personalitas per kepala negara, maka bisa diharapkan efektivitasnya untuk merengkuh pasar di setiap negara.
Kita bisa bayangkan, jumlah penduduk dunia sekitar 8,2 miliar pada 2025 bukanlah angka kecil. Dan untuk Indonesia sendiri, angka kisaran 284,4 juga bukan angka kecil, meski merupakan ranking keempat dari jumlah penduduk terpadat di dunia. Yang pertama India (1.463.870.000) jiwa. Kedua, China (1.416.100.000) jiwa. Ketiga, Amerika Serikat (347.276.000) jiwa. Ketika antivirus berhasil dikembangkan, maka potensi bisnisnya sulit dihitung. Harus dicatat, jauh sebelum diinformasikan vaksinasi (anti virus TBC) terdapat kemungkinan besar kondisi pasar telah dirancang. Dengan menguasai informasi dan komunikasi global, maka desain persebaran informasi langsung mendunia. Diciptakan ketergantungan.
Persis yang kita hadapi pada tragedi persebaran virus corona-19. Seperti kita ketahui, sekitar lima tahun sebelum pandemi virus corona-19 yang demikian meluas di seantero dunia, Bill Gate telah mengeluarkan informasi ancaman pandemi itu. Dan bersamaan dengan virus itu mempandemi ke seluruh jagad raya, di sana kita saksikan tawaran anti virus. Memang, tidak hanya produksi AS. Jerman, China bahkan Indonesia pun menawarkan anti virus. Kita perlu mencatat, itulah persekongkolan kaum illuminate dalam menguasai pasar dunia. Atas nama keselamatan nyawa dan atau prinsip kemanusiaan, maka vaksinasi menjadi kebutuhan mutlak.
Berkaca dari gerakan massif vaksinasi di berbagai belahan dunia, bahkan di setiap negara termasuk Indonesia, kita saksikan banyak elemen pebisnis mendapatkan keuntungan yang sangat fantastik nilai. Yang menyedihkan, sejumlah pejabat publik seperti Gubernur DKI Jakarta saat menghadapi covid, terutama 2019-2022, dia berusaha memproteksi warganya dengan pendekatan kebijakan rasionalnya. Tapi, langkahnya mendapat perlakuan keji. Pusat tak tak rela kebijakannya dihambat oleh siapapun. Itulah kenangan pahit semasa 2019 akhir hingga 2021 akhir, yang untuk negeri kita menelan korban (meninggal) sebanyak 71.872 orang.
Pandemi corona tidak hanya menelan korban nyawa, tapi menghancurkan struktur ekonomi nasional, sebagai negara ataupun rakyat (pelaku bisnis, tenaga kerja dan masyarakat biasa). Sementara, para pebisnis bidang kesehatan meraup profit milyaran rupiah bahkan triliunan. Belum lagi dari “pencurian” dana bansos. Itulah kenangan pahit rekayasa virus corona yang menurut catatan statistic.com telah menewaskan 6.866.733 orang. Dan nilai finansial yang dipetik dari bisnis vaksinasi bernilai ribuan miliar dolar AS. Sementara itu terjadi kontraksi ekonomi yang luar biasa dari berbagai negara. Itu belum termasuk gulung tikarnya banyak perusahaan, termasuk di Tanah air ini. Sungguh tidak adil panorama vaksinasi corona itu.
Kita perlu mencatat, siapapun berhak merengkuh kekayaan dunia. Tapi, tidak sepantasnya mendistorsi kepentingan umat manusia pada umumnya. Inilah etika moral ekonomi yang dikumandangkan dalam Islam sekitar 14 abad silam. Tapi, etika moral ekonomi ini di mata Yahudi Zionis dipandang sebelah mata. Harus kita catat, sikap Yahudi Zionis lebih takluk dengan protokolnya. Di antara diktum protokolnya adalah “tak boleh ada bangsa di muka bumi ini kecuali bangsa Yahudi”. Protokol itu menggiring kebijakan how to banish atau melenyapkan seluruh anak bangsa di muka bumi ini. Yang boleh hidup dan harus dipertahankan hanyalah bangsa Yahudi. Itupun Yahudi yang beraliran ekstrim: Zionis, bukan Yahudi Ahli Kitab atau ortodoks.
Menggaris-bawahi Protokol Zionis, siapapun berhak curiga atas sikap Bill Gate, yang tampaknya baik untuk kepentingan manusia. Inilah hidden agenda yang harus diwaspadai. Karena itu, seorang ahli vaksin seperti Fadhilah Supari (mantan Menteri Kesehatan zaman SBY) terus bereaksi untuk menolak vaksinasi ala Bill Gate. Hampir dapat dipastikan tujuannya memusnahkan umat manusia. Memang, vaksin TBC tak seganas corona. Namun, implikasinya akan terasa dalam lima tahun ke atas. Sebagai komparasi, sejumlah orang yang menerima vaksin corona sudah mulai merasakan dampaknya, di antaranya pengentalan darah. Berarti, ia harus mengkonsumsi obat pengencer darah.
Kini, Indonesia dalam proses implementasi kebijakan vaksinasi TBC. Jika memang tak bisa dicegah atau harus menuruti, jadilah para pejabat negara yang negarawan, atau pejabat publik yang civilized. Konkretnya? Tampillah seluruh pejabat negara yang divaksin terlebih dahulu. Mulai dari Presiden-wakil Presiden, seluruh Menteri dan Wakil Menterinya, kalangan anggota DPR RI, seluruh jajaran pimpinan BUMN, bahkan seluruh jajaran kepala daerah menjadi teladan: siap divaksinasi terlebih dulu, bukan lebih menyodorkan rakyat sebagai kelinci percobaan. Itulah langkah bijak jika memang harus divaksinasi. Tanpa keteladanan, maka para pejabat negara dan atau pejabat publik itu sejatinya antek Yahudi Zionis.
Tak disadari, ketundukannya dalam menjalankan vaksinasi TBS sejatinya sedang menjalankan agenda pembantaian secara terencana dan sistematis Berkenankah dituding sebagai antek Yahudi Zionis? Jika tidak, janganlah memaksakan kehendak. Sebab, penolakan psikologis – dalam konteks TBC justru menjadi “mangsa” empuk bagi miyrobacterie culosis. Janganlah rela menjadi antek genosida ala Yahudi Zionis.
Penulis: Analis Politik dan aktivis UI Watch PLUS