Rekrutmen KPK: 5 Tahun Pengalaman “Relevan”? Relevan Buat Siapa?

Gedung KPK RI, (Foto: Mediakarya)

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Kalimat “pengalaman jabatan relevan minimal lima tahun” belakangan terdengar bak mantra wajib dalam setiap rekrutmen pejabat strategis, termasuk di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tahun 2025 ini. Tapi kalau ditanya, “relevan itu apa?”, di situlah petualangan logika dimulai.

KPK bilang: syarat lima tahun itu untuk menjamin profesionalitas. Tapi BPK selama sepuluh tahun terakhir justru berkali-kali menemukan kelemahan dalam sistem rekrutmen di sana, yakni parameter kabur, merit system lemah, dan terlalu administratif. Hasilnya, kursi-kursi strategis sering diisi bukan oleh yang paling kompeten, tapi oleh yang paling “terdaftar”.

Formalitas versus substansi

Kalau mengacu ke UU ASN dan PP 11/2017, syarat “pengalaman relevan lima tahun” memang sah secara hukum. Tapi secara substansi, ini seperti mengukur kecakapan berenang dari lamanya berdiri di pinggir kolam.

Lima tahun di KPK, Kejaksaan, atau Polri punya karakter kerja yang berbeda. Tapi di atas kertas, semuanya dianggap “relevan”. Di sinilah celah bias muncul, karena tafsir subjektif bisa membuka ruang lobi, dan lobi bisa merobohkan semangat meritokrasi.

Indonesian Audit Watch menilai, “Kalimat relevan ini terlalu lentur untuk lembaga sekeras KPK. Di tangan yang salah, kelenturannya bisa jadi alat penyaring selera, bukan integritas.”

BPK sudah bilang: ukur dong, jangan asal tulis

Dari LHP BPK 2015–2024, pola yang sama terus berulang, yaitu KPK disarankan memperkuat indikator objektif dalam rekrutmen. Tapi yang terjadi, indikator justru makin kabur pasca revisi UU KPK 2019. TWK dulu dijadikan filter ideologi, kini “pengalaman relevan” dijadikan pagar administrasi. Semuanya tampak sah, tapi tidak otomatis melahirkan penyidik atau direktur dengan kompetensi khas anti-korupsi.

Kasus terkini: Direktur Penyelidikan 2025

Lihat saja seleksi Direktur Penyelidikan. Dari lima kandidat, ada yang dari Kejaksaan, ada yang dari internal KPK. Sama-sama punya “lima tahun pengalaman”, tapi apa bobotnya sama? Lima tahun mengusut kasus tindak pidana umum tentu beda dengan lima tahun di jantung penyelidikan korupsi. Sayangnya, mekanisme validasi pengalaman masih lemah, tak ada uji independen, tak ada matriks poin yang menilai kualitas tugas. Lalu dimana relevansi tersebut berada?

Solusi ala IAW relevan harus diukur, bukan dirasakan

IAW mengusulkan agar KPK menerbitkan Peraturan Khusus tentang Penilaian Pengalaman Relevan, lengkap dengan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *