Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Air yang turun, luka yang tertinggal
Pagi yang seharusnya biasa di Sumatera berubah menjadi lembar sejarah pahit. Lumpur menutupi rumah, jembatan beterbangan seperti lidi, dan ratusan keluarga masih mencari nama yang tak kunjung kembali. Di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, air surut hanya meninggalkan satu hal, yakni sunyi yang penuh kemarahan.
Di balik sunyi itu, ada angka-angka yang bicara jauh lebih keras dari pidato konferensi pers, yakni:
– 712–ribuan jiwa meninggal,
– 3,2 juta lebih warga terdampak,
– Tiga provinsi lumpuh,
– Infrastruktur nasional rusak parah.
Di bahasa hukum PP 21/2008, semua ini sehatusnya punya satu kalimat “ini bencana nasional.” Namun sampai tulisan ini dibuat, status itu belum keluar. Dan di sinilah kisah ini mulai berubah dari sekadar bencana alam menjadi kisah 20 tahun peringatan yang tak diindahkan.
Dua dekade rambu-rambu yang dibiarkan padam
LHP BPK sejak 2005 berkali-kali menulis kalimat yang mirip, yakni hutan gundul, izin amburadul, DAS rusak, dan sistem peringatan dini tak sinkron. Selama 20 tahun pula, BPK mencatat pola yang sama:
- Izin sawit dan tambang di hulu DAS diterbitkan tanpa analisis risiko banjir-dasar,
- Kerusakan hutan hujan Sumatera meningkat 500–600 ribu hektare per lima tahun,
- Peralatan early warning tidak dirawat,
- Koordinasi antarprovinsi rapuh, karena tiap daerah lebih sibuk membuka lahan daripada menjaga bukit.
Negara melalui BPK sudah menyampaikan temuan. KLHK menjawab formal. Daerah beralasan fiskal tidak cukup!
Sementara itu, setiap musim hujan, masyarakat hanya mendengar peringatan yang sama: “curah tinggi, waspada.” Realitanya, Sumatera sedang menunggu tanggalnya sendiri. Dan 2025 adalah tanggal itu.
BMKG dan BNPB sepuluh tahun mesin peringatan yang tak sinkron
Dalam 10 tahun terakhir BMKG telah mengintegrasikan radar cuaca, satelit Himawari, dan INAWRN. Tetapi banyak daerah, terutama Aceh hingga Sumut, tidak punya sirene dan pengeras suara di desa-desa rawan longsor. Peringatan berhenti di layar smartphone, padahal warga rentan tidak punya internet.
BNPB sebenarnya memiliki pedoman evakuasi dan peta rawan. Namun 30% peta rawan banjir-longsor kabupaten tidak diperbarui sejak 2014. Itu temuan BPK 2015–2023.
Ketika bencana datang, BMKG sudah memberi sinyal, tetapi mesin kebijakan tak bergerak. Terlihat teknologi berlari, tapi birokrasi berjalan kaki!
Ketika bencana terjadi, kepemimpinan diuji
Respon Presiden Prabowo menarik untuk dicermati. Presiden hadir cepat di lapangan, memberi instruksi langsung, dan memobilisasi TNI dalam 24 jam. Namun hal kontras tampak di bawahnya:
- Ada pembantu presiden yang telat bergerak, masih menunggu “data kumulatif”,
- Ada kepala lembaga yang mengeluarkan pernyataan kontroversial seolah menyederhanakan skala bencana,
- Ada kementerian teknis yang sibuk saling menyalahkan soal penggundulan DAS.
Sementara Presiden turun langsung, sebagian pembantunya masih memakai kacamata lama, yakni yang penting rapi di laporan, bukan cepat di masyarakat. Ini celah kepemimpinan yang sangat terlihat publik!
Mengapa Presiden belum menetapkan “bencana nasional”?
Secara regulasi, syarat Bencana Nasional sudah terpenuhi jauh melewati ambang batas, karena:




