Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Pertanyaan yang tidak pernah masuk berita setiap kali Polri menggelar konferensi pers, kita disuguhi angka: kilogram narkotika, unit mobil mewah, lembaran uang tunai, hektare lahan hasil kejahatan. Kamera menyala. Publik bertepuk tangan. Negara tampak hadir dan berwibawa. Namun ada satu pertanyaan sederhana yang hampir tidak pernah diajukan, bahkan oleh negara itu sendiri, yaitu setelah disita, lalu ke mana aset-aset itu pergi?
Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk menuduh individu atau menghakimi institusi. Ini adalah pembacaan sistemik atas desain hukum dan tata kelola keuangan negara. Analisis ini berdiri di atas peraturan perundang-undangan, arsitektur hukum acara pidana, serta pola temuan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selama puluhan tahun. Fokusnya satu, bagaimana aset hasil kejahatan pidana umum yang disidik oleh Polri, dari masa awal kemerdekaan hingga hari ini?
Kejahatan “biasa” yang justru paling banyak jumlahnya, paling luas sebarannya, dan paling besar potensi ekonominya bagi negara, namun paling abai pengelolaannya!
Fakta dasar yang harus diakui: negara tidak pernah memiliki peta
Hingga hari ini, belum tersedia secara terbuka dan terintegrasi satu sistem nasional lintas penegak hukum yang mencatat secara utuh nilai aset hasil pidana umum yang: disita oleh Polri, dirampas untuk negara melalui putusan pengadilan, dan semestinya menjadi bagian dari kekayaan negara.
Klaim ini bukan asumsi. Ia adalah konsekuensi logis dari desain hukum yang terfragmentasi.
Hukum acara yang berhenti di putusan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 tahun 1981) memberikan kewenangan kepada penyidik Polri untuk melakukan penyitaan, sesuai asal 44 dan mengatur perampasan barang bukti dalam amar putusan (pasal 197). Namun KUHAP berhenti tepat di sana.
KUHAP tidak pernah bertanya: siapa yang mengelola aset setelah dirampas, bagaimana nilainya dijaga, bagaimana ia dicatat sebagai kekayaan negara. KUHAP adalah hukum pidana murni. Ia dirancang untuk menghukum orang, bukan mengelola harta.
Hukum keuangan yang tidak pernah menyentuh lapangan
Sebaliknya, UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara dan UU No. 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara secara tegas menyatakan bahwa seluruh kekayaan negara dikelola oleh Menteri Keuangan melalui Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN). Masalahnya sederhana sekaligus fatal, yakni tidak ada norma penghubung yang secara eksplisit memerintahkan Polri, Kejaksaan, atau Pengadilan untuk menyerahkan aset rampasan pidana umum ke DJKN. Inilah lubang hitam tata kelola itu bermula!
Jejak sejarah: dari alat bukti menjadi aset yang kehilangan negara
Periode 1945–1981: logika darurat dan warisan kolonial pada masa awal kemerdekaan, hukum acara pidana masih bertumpu pada HIR dan RIB, warisan kolonial yang memandang barang sitaan semata sebagai alat pembuktian.
Setelah perkara selesai, nasib aset sering kali bergantung pada perintah hakim yang sangat minimalis: dimusnahkan, diserahkan kepada pihak tertentu, atau “dijual dan disetorkan” tanpa mekanisme lelang negara yang transparan.
Konsep Barang Milik Negara (BMN) dari hasil rampasan pidana belum dikenal. Negara hadir sebagai penghukum, bukan sebagai pengelola kekayaan.
Era 1981–1998: KUHAP dan gudang yang membesar membawa standardisasi prosedur penyitaan dan pembuktian. Namun ia tetap bisu soal pasca-putusan. Dalam praktik, Polri menjadi penyimpan sementara. Setelah inkracht, aset sering berpindah ke Kejaksaan untuk dieksekusi, tetapi tanpa audit trail yang utuh sejak penyitaan awal. Pada titik ini, negara mulai kehilangan jejak hartanya sendiri.
Masa 1999–sekarang: ledakan kasus, sistem yang tertinggal pada era reformasi melahirkan lonjakan besar perkara pidana umum, yakni kasus: narkotika lintas negara, perdagangan orang, illegal logging, kejahatan pertambangan, kejahatan ekonomi, dan siber.
Nilai aset yang disita melonjak drastis, berupa kapal, alat berat, pabrik, lahan, uang tunai miliaran rupiah. Namun arsitektur pengelolaannya masih berpijak pada logika 1981.
Peraturan internal Polri (Perkap) tentang barang bukti memang mengatur keamanan dan administrasi perkara, tetapi tidak dirancang untuk menjaga nilai ekonomi aset atau mengintegrasikannya ke dalam sistem kekayaan negara. Gudang Polri pun berubah fungsi dari ruang pembuktian menjadi ruang penyusutan nilai!
Pola audit BPK: ketika negara kehilangan nilai tanpa sadar
BPK dalam berbagai Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) dan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) berulang kali menemukan pola yang sama di berbagai institusi penegak hukum, berupa: pencatatan barang sitaan dan rampasan tidak tertib, status hukum aset tidak jelas, aset rusak sebelum dilelang, dan aset tidak tercatat dalam neraca negara.
Temuan ini sering muncul pada Kejaksaan dan Pengadilan, dan secara logis berpotensi terjadi pula pada aset yang berada dalam penguasaan Polri, mengingat desain hukumnya identik.
BPK bahkan secara konsisten merekomendasikan pembentukan sistem informasi terpadu dan pengelolaan barang sitaan dan rampasan. Namun rekomendasi ini mentok, karena tidak disokong perubahan undang-undang.
Kerugian negara yang tidak pernah dihitung
Di luar kerugian akibat kejahatan itu sendiri, negara menanggung kerugian sistemik tersembunyi:




