Bhakti Polri di Tengah Badai Delegitimasi

HaidarAlwi

Oleh: R. Haidar Alwi

Di saat air bah menggulung pemukiman, memutus akses jalan, listrik dan komunikasi, serta mengguncang sendi-sendi kehidupan di berbagai sudut Sumatera, negara diuji bukan dengan pidato-pidato, melainkan oleh kehadiran nyata di tengah-tengah rakyat. Pada momen-momen paling gelap itulah Bhakti Polri terlihat jelas, aparat yang datang lebih dulu, tinggal lebih lama, dan pulang paling akhir dari lokasi bencana.

Di tengah badai delegitimasi yang terus menghantam institusi kepolisian di ruang publik, ironi besar justru tersaji di lapangan. Ketika Polri diperdebatkan, dicurigai, diragukan, bahkan dirusak citranya, anggotanya justru menembus hujan dan lumpur untuk mengevakuasi warga, menggendong anak-anak keluar dari rumah yang nyaris runtuh, dan memastikan orang tua tidak tertinggal dalam ketakutan. Tidak ada kamera besar, tidak ada tepuk tangan. Yang ada hanya kelelahan dan panggilan kemanusiaan.

Bagi korban bencana, polisi bukanlah objek polemik. Mereka adalah orang pertama yang mengetuk pintu di tengah malam, suara yang menenangkan setelah air bah datang, dan tangan yang membantu membagi makanan ketika dapur tak lagi menyala. Di pengungsian, aparat kepolisian ikut menjaga agar bantuan tidak diperebutkan, agar yang lemah tidak terpinggirkan, dan agar rasa aman tetap hidup meski semuanya terasa runtuh.

Bhakti Polri di Sumatera adalah cerita tentang tugas yang dijalankan dalam diam. Tentang aparat yang tidur di lantai posko, berbagi nasi bungkus dengan warga, dan tetap berdiri menjaga ketika hujan tak kunjung berhenti turun. Di saat sebagian masyarakat sibuk memperdebatkan legitimasi Polri, mereka justru menghadapi kenyataan paling kejam. Tangis kehilangan, asa yang hampir hilang, dan harapan tipis yang harus dijaga agar tidak padam.

Delegitimasi yang membabi buta sering kali lupa pada wajah-wajah ini. Ia mereduksi kerja kemanusiaan dengan berbagai cara. Padahal, kepercayaan publik tidak dibangun hanya melalui regulasi atau pernyataan resmi, melainkan melalui pengalaman langsung warga yang merasakan kehadiran negara di saat paling membutuhkan. Di Sumatera, pengalaman itu hadir melalui Bhakti Polri yang bekerja tanpa syarat, tanpa memilih, dan tanpa menunggu pujian.

Bukan berarti Polri kebal kritik. Pembenahan tetap mutlak diperlukan. Namun, di tengah tuntutan perubahan itu, ada nilai yang tak boleh dihapus: pengabdian. Ketika bencana merenggut segalanya, pengabdian aparat kepolisian menjadi penopang terakhir agar masyarakat tidak merasa sendirian. Di situlah legitimasi sejati bertumbuh. Bukan dari kata-kata, tetapi dari tindakan.

Sumatera, dengan luka-luka bencananya, menjadi Saksi bahwa di balik seragam yang kerap diperdebatkan, ada manusia-manusia yang memilih tetap hadir. Di tengah badai delegitimasi, Bhakti Polri menjelma bukan sekadar tugas institusional, melainkan ikrar kemanusiaan. Bahwa negara, lewat tangan aparatnya, masih berdiri di sisi rakyat ketika semuanya runtuh.

Penulis: Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI) sekaligus Wakil Ketua Dewan Pembina Ikatan Alumni ITB

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *