BUMN Dilego Demi Ideologi Neoliberalis

Oleh: Agus Rizal | Ekonom Univ MH Thamrin

Dalam kerangka Ekonomi Pancasila, BUMN bukan sekadar perusahaan negara tetapi pilar kedaulatan ekonomi yang menguasai cabang produksi strategis untuk memastikan kemakmuran warga negara.

Tentu, fungsi utamanya bukan mencari laba maksimal, melainkan menjaga stabilitas harga, memastikan akses layanan publik, mengamankan pasokan energi dan pangan, serta menjadi jangkar ketika sektor swasta goyah.

BUMN berdiri sebagai korektor pasar: mengisi ruang yang tidak bisa atau tidak mau disentuh swasta demi kepentingan nasional.

Karena itu BUMN tidak boleh tunduk pada mekanisme spekulatif, sebab saat ia kehilangan kendali, negara kehilangan alat strategis untuk menjamin keadilan ekonomi.

Pasar dalam teori ekonomi adalah ruang pertukaran tempat penjual dan pembeli bertemu untuk menghasilkan harga yang adil melalui interaksi penawaran dan permintaan. Itulah definisi textbook yang tampak rapi dan rasional. Namun ketika konsep ini diterapkan pada pasar saham, istilah pasar tidak lagi merujuk pada ruang pertukaran nilai, melainkan berubah menjadi arena permainan probabilitas dan dominasi modal. Definisi akademik runtuh ketika bersentuhan dengan realitas operasional bursa.

Dalam dunia perjudian, pasar adalah ruang tempat bandar menetapkan peluang dan pemain memasang uang pada peluang yang sejak awal sudah dimiringkan. Ketika pasar saham bekerja dengan logika serupa—harga didorong rumor, sentimen, dan manuver modal besar—maka yang berjalan bukan mekanisme ekonomi, melainkan perjudian yang dilegitimasi aturan formal. Ungkapan bahwa pasar selalu benar berubah menjadi perisai ideologis yang menutupi ketimpangan kekuasaan yang sudah lama mengakar.

Neoliberalisme kemudian memoles bursa sebagai simbol modernitas. Masyarakat didorong percaya bahwa saham adalah jalan kemajuan. Faktanya tidak demikian. Hasil transaksi tidak ditentukan rasionalitas, tetapi oleh arus modal raksasa, algoritma global, dan strategi yang tidak pernah diumumkan. Pasar saham bukan arena demokratis, melainkan struktur berjenjang tempat pemain besar memegang kendali penuh terhadap arah pergerakan.

Di titik ini market maker menjadi aktor sentral. Secara formal mereka disebut penyedia likuiditas, tetapi kenyataannya mereka mengendalikan ritme pasar. Mereka menentukan jarak bid dan ask, membaca penumpukan order, mengetahui titik likuiditas tipis, dan memahami kapan psikologi investor ritel melemah. Dengan informasi yang jauh lebih lengkap dan instrumen yang lebih kuat, mereka dapat memperlambat, mempercepat, atau menggoyang harga sesuai kepentingan internal. Investor kecil pada akhirnya tidak sedang berhadapan dengan pasar, tetapi dengan operator yang memegang peta lengkap permainan sejak awal.

Spekulasi jangka pendek, penggunaan leverage, dan algoritma berkecepatan tinggi memperkuat penyimpangan ini. Gagasan bahwa pasar saham adalah ruang pertukaran informasi tinggal konsep sejarah. Volatilitas bukan lagi konsekuensi alami, tetapi komoditas yang secara sengaja diproduksi dan dipelihara. Pasar bergerak seperti mesin kasino: cepat, penuh kilau, dan tak pernah netral; dan yang memegang kendali tetap pihak yang berkuasa atas likuiditas.

Analisis fundamental dan teknikal kemudian dijadikan pedoman utama. Secara teori fundamental menilai politik, ekonomi, sosial, dan kinerja perusahaan. Namun indikator fundamental justru digunakan investor global untuk menekan negara agar tunduk pada deregulasi, privatisasi, dan penyesuaian fiskal demi menjaga kepercayaan investor. Ini bentuk kolonialisme ekonomi dalam format finansialisasi. Sementara itu analisis teknikal memandang grafik sebagai kitab suci modern, padahal arah pergerakan tiket sudah ditentukan oleh mereka yang menguasai likuiditas. Pola grafik menjadi ritual tanpa kuasa bagi investor ritel.

Data empiris tidak memberi ruang bagi ilusi. Kapitalisasi pasar saham Indonesia mencapai sekitar 55,7% dari PDB pada 2024, naik jauh dari rata-rata historis 37% sejak 1995. Namun pertumbuhan ekonomi riil tetap stagnan di sekitar 5%. Secara global korelasi antara pertumbuhan PDB dan imbal hasil saham mendekati 0 di lebih dari 40 negara selama 2 dekade. Penelitian Fichtner dan Joebges pada 2022 menegaskan bahwa hubungan jangka panjang antara pasar saham dan pertumbuhan ekonomi bersifat campuran dan tidak stabil. Kapitalisasi boleh naik, tetapi produktivitas warga negara tidak ikut terdongkrak. Bursa hanya memperbesar finansialisasi, bukan pembangunan nasional.

Dari perspektif ideologi ekonomi nasional, kesimpulan tidak bisa dinegosiasi. BUMN tidak boleh masuk pasar saham. BUMN memegang cabang produksi strategis; ketika diperdagangkan di bursa, kontrol negara tergeser oleh logika spekulatif. Keputusan strategis menjadi tunduk pada indeks, bukan mandat konstitusi. BUMN yang seharusnya menjadi instrumen kedaulatan berubah menjadi komoditas finansial. Inilah pintu masuk neoliberalisme untuk mengubah negara menjadi korporasi dan bukan pelindung kepentingan warga negara.

Dengan demikian pasar saham bukan ruang pertukaran nilai, tetapi arena spekulasi yang dibangun di atas asimetri informasi, dominasi modal, dan struktur yang selalu menguntungkan pengendali permainan. Secara teori bursa tampak seperti institusi ekonomi.

Secara praktik ia berfungsi sebagai kasino modern dengan market maker sebagai operator utama dan logika neoliberalisme sebagai kekuatan penggeraknya. **

Exit mobile version