KOTA BEKASI, Mediakarya – Setiap truk sampah dari Jakarta yang meluncur ke Bantargebang tidak hanya membawa sampah dan air lindih, namun juga membawa uang kompensasi yang dibayar Pemprov DKI kepada Pemkot Bekasi.
Setiap meter kubik sampah tentu ada uang kompensasi, dan seharusnya dapat memperbaiki kualitas hidup warga di tiga kelurahan yang terdamoak langsung dengan Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Kecamatan Bantargebang Kota Bekasi.
Berdasarkan temuan Indonesian Audit Watch (IAW), ada potensi kerugian negara mencapai Rp123,52 miliar dalam pengelolaan dana kompensasi TPST Bantargebang periode 2021-2023.
Sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus mengatakan, temuan tersebut berdasarkan investigasi terhadap Perjanjian Kerja Sama (PKS) tahun 2021 antara Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan Pemerintah Kota Bekasi terkait dengan dana kompensasi bagi warga yang terdampak pembuangan sampah terbesar di Asia Tenggara itu.
“Kami melakukan audit forensik atas dokumen resmi, realisasi anggaran, dan bukti lapangan. Hasilnya menunjukkan anomali serius dalam pengelolaan dana kompensasi,” kata Iskandar saat acara Simposium Sampah Bantargebang, Selasa (28/10/2025).
Berdasarkan analisis IAW, potensi kerugian negara pada 2021 mencapai Rp36,77 miliar. Angka ini meningkat menjadi Rp40,68 miliar pada 2022 dan Rp46,07 miliar pada 2023. Total keseluruhan mencapai Rp 123,52 miliar, yang mencakup indikasi inefisiensi operasional, infrastruktur tidak berfungsi, dan bantuan langsung tunai (BLT) yang tidak tepat sasaran.
IAW menemukan dugaan penyimpangan dalam formula perhitungan kompensasi. Di atas kertas, rumus kompensasi tampak ilmiah, yaitu jumlah hari x volume sampah per m³ x Rp 25.000 x faktor konversi m³ ke tonase x 120 persen.
Namun, di balik rumus itu ada satu kunci yang disebut faktor konversi. Angka kecil tapi krusial ini bisa mengubah laporan keuangan miliaran rupiah hanya dengan menaikkan satu desimal. Nilainya tidak pernah transparan, dan di situlah potensi permainan muncul.
“Kami menemukan pola mark-up sistematis melalui manipulasi faktor konversi. Nilai faktor konversi ini tidak pernah transparan, sehingga berpotensi mengubah nilai kompensasi miliaran rupiah,” ujar Iskandar.
Menurut IAW, hal ini mengakibatkan indikasi pembayaran berlebih hingga Rp123,5 miliar tanpa disertai output fisik yang setara.
Iskandar menegaskan, nilai Rp123,52 miliar merupakan hasil analisis forensik awal IAW berdasarkan dokumen PKS 2021, laporan realisasi Pemkot Bekasi, dan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI dalam dua dekade terakhir. “Angka ini bukan putusan hukum dan masih menunggu verifikasi lanjutan dari lembaga pemeriksa resmi,” katanya.
Infrastruktur Mangkrak
Investigasi IAW juga menemukan sejumlah proyek infrastruktur lingkungan seperti Instalasi Pengolahan Air Setempat (IPAS) dan sistem penahan lindi yang tercatat selesai dalam laporan, namun tidak berfungsi di lapangan.
“Air lindi tetap mencemari sungai sekitar karena fasilitas yang seharusnya menyaring air limbah tidak berfungsi,” kata Iskandar.
Selain itu, IAW menemukan anomali dalam penyaluran BLT untuk warga terdampak. Sebagian penerima tidak memiliki Nomor Induk Kependudukan (NIK), bahkan ada yang tinggal di luar zona dampak.
Dugaan Pelanggaran Hukum
Analisis IAW menyebutkan setidaknya lima indikasi pelanggaran. Pertama, manipulasi formula konversi tonase yang mengarah pada potensi mark-up. Kedua, penyaluran BLT tanpa validasi NIK yang berpotensi melanggar asas akuntabilitas publik.
Ketiga, infrastruktur fiktif atau tidak berfungsi yang berpotensi melanggar Pasal 18 ayat (1) UU Tipikor. Keempat, dana kompensasi digunakan untuk belanja pegawai yang tidak sesuai peruntukan. Kelima, konflik kepentingan dalam pengawasan yang melanggar prinsip good governance.
IAW juga menyoroti struktur pengawasan TPA Bantargebang yang dinilai bermasalah. Tim pengawas Bantargebang dibiayai dari dana kompensasi yang mereka awasi sendiri.
“Secara hukum, ini merupakan konflik kepentingan murni dan pelanggaran terhadap prinsip independensi pengawasan dalam UU Nomor 15 Tahun 2004,” kata Iskandar.
Menurutnya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sudah 20 tahun memperingatkan bahaya pola seperti ini, namun tetap diulang di Bantargebang.
Iskandar mengatakan, kasus Bantargebang bukan fenomena unik. Pola serupa kerap ditemukan BPK di berbagai daerah sejak 2004 hingga 2024, meliputi kelemahan pengendalian intern dalam kerja sama daerah, data penerima bansos yang tidak valid, infrastruktur yang tidak berfungsi, dan pengawasan yang tidak independen. “Rekomendasi terus disusun BPK, tapi pelanggaran terus diulang,” ujarnya.
Lebih lanjut, Iskandar mengatakan, IAW mengajukan lima rekomendasi untuk menindaklanjuti temuan ini. Pertama, audit investigatif menyeluruh oleh BPK dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kedua, moratorium penyaluran dana kompensasi sampai validasi data selesai.
Ketiga, audit teknis terhadap seluruh infrastruktur lingkungan. Keempat, restrukturisasi pengawasan dengan pemisahan fungsi dan sumber pendanaan. Kelima, tindak lanjut hukum oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) atau Kejaksaan bila ditemukan unsur pidana.
Untuk itu, IAW meminta agar aktivis peduli lingkungan agar segera melaporkan kasus dugaan korupsi uang kompensasi sampah Bantargebang ke Kejaksaan Agung.
“Mengingat dugaan korupsinya itu sangat fantastis dan nilainya di atas seratus miliar dan diduga dilakukan dengan berjamaah, kami berharap aktivis peduli lingkungan agar melaporkan kasus tersebut ke Kejaksaan Agung. IAW siap suport data membeberkan potensi korupsinya. Jika ini dapat diungkap maka banyak pejabat Kota Bekasi yang bakal ngandang,” pangkas Iskandar.*
