JAKARTA, Mediakarya – Direktur eksekutif Etos Indonesia Institute, Iskandarsyah mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maupun Kejaksaan Agung untuk menindaklanjuti adanya dugaan keterlibatan istri kepala daerah dalam proses mutasi rotasi jabatan, maupun penentuan pemenang proyek pemerintah, baik itu di lingkungan kota dan kabupaten di sejumlah daerah.
Iskandar menegaskan, tidak ada dasar hukum yang memperbolehkan istri kepala daerah untuk ikut campur dalam urusan administrasi pemerintahan, termasuk mutasi Aparatur Sipil Negara (ASN), terlebih lagi, mengatur pemenang proyek yang bersumber dari APBD.
“Mutasi ASN adalah kewenangan pejabat pembina kepegawaian (dalam hal ini kepala daerah) yang pelaksanaannya harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan prinsip netralitas ASN. Tapi, ada beberapa kasus di lapangan bahwa dugaan keterlibatan istri kepala daerah dalam menentukan jabatan strategis untuk menempati tertentu. Dan berdasarkan informasi yang kami dapat beberapa pengaduan sudah masuk ke APH terkait persoalan tetsebut,” ungkap Iskandar kepada Mediakarya di Jakarta, Rabu (17/12/2025).
Iskandar menyebut ada fenomena menarik terkait dengan keterlibatan istri kepala daerah di sejumlah wilayah. Di mana sang istri lebih mendominasi ketimbang suaminya yang notabene sebagai kepala daerah.
“Secara de jure memang sang suami merupakan kepala daerah tapi de facto-nya istri lebih dominan ketimbang sang suami yang merupakan orang nomor satu di wilayah tersebut dalam menentukan jabatan maupun pemenang lelang. Tak sedikit calon pejabat terlebuh dahulu menghadap istri kepala daerah. Dan ini fakta yang terjadi selama ini,” ungkap Iskandar.
‘Maka wajar ada istilah kepala daerah malam hari dan kepala daerah siang hari. Kepala daerah siang hari yaitu sang suami, sementara kepala daerah malam hari itu sang istri yang menguntervensi kebijakan suaminya,” imbuh dia.
Dia pun menyebut tak sedikit kepala daerah yang berurusan dengan KPK maupun Kejagung lantaran kebijakannya yang diintervensi sang istri, akibat menghalalkan segala cara dalam menjalankan roda pemerintahannya.
Padahal, proses administrasi kepegawaian, termasuk mutasi, harus didasari pada sistem merit, kualifikasi, kompetensi, dan kinerja, bukan atas dasar hubungan pribadi atau intervensi pihak luar.
“Undang-Undang tentang ASN menegaskan bahwa ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik. Keterlibatan pihak non-struktural dalam keputusan kepegawaian dapat merusak prinsip netralitas ini,” tegasnya.
Sedangkan peran istri kepala daerah pada umumnya bersifat pendukung, seringkali melalui organisasi seperti Tim Penggerak PKK (Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga) atau kegiatan sosial lainnya, dan tidak memiliki kewenangan eksekutif dalam struktur pemerintahan daerah.
Potensi Pelanggaran
Dia menilai jika terjadi intervensi oleh istri kepala daerah dalam mutasi, maupun mengatur siapa pemenang lelang proyek APBD, hal tersebut dapat dianggap sebagai penyalahgunaan wewenang atau pelanggaran etika pemerintahan.
Oleh karenanya, kata Iskandar, secara ringkas, campur tangan istri kepala daerah dalam mutasi ASN adalah tindakan yang tidak sah secara hukum dan bertentangan dengan prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang Good governance (tata kelola pemerintahan yang baik). efektif, efisien, transparan, akuntabel, partisipatif. (AG)
