Fenomena KDM, Saat Kekuatan Jempol Terasa Lebih Menentukan dari Parlemen

Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. (Ist)

BANDUNG, Mediakarya – Mata Indonesia sepertinya sedang fokus ke Jawa Barat. Itu tak lain gegara sosok seorang Dedi Mulyadi, sang Gubernur Jawa Barat. Pria yang lebih dikenal dengan KDM ini, memang telah menjelma menjadi tokoh publik.

Dalam sekejap, KDM menjadi top Triger, meski sesekali disentil sebagai Gubernur Konten. Tapi ia bukan konten kreator biasa. Ia adalah King of influencer public. Oleh KDM, publik tengah di suguhi pesan yang mudah di terima dan tidak memerlukan penafsiran yang mendalam oleh masyarakat.

Fenomena ini juga tidak luput dari perhatian Dosen Ilmu Komunikasi di STIKOM Bandung, Asep Suparman. Menurutnya, ketulusan dalam bersikap, membuat KDM bisa menjadi trend setter dan menjadi media darling. “Penyampaian pesan-pesan moral, kebijakan yang pro rakyat meski sedikit candaan membawa beliau menciptakan gaya atau tipe berkomunikasi tersendiri,” kata Asep seperti dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Minggu, (6/7/2025)

Dengan fenomena tersebut, Asep menilai bahwa era kekinian membuat jempol terasa lebih menentukan daripada parlemen. Kemudian kekuasaan politik sudah tak lagi bersandar pada institusi, konstitusi, ataupun kebijakan rasional, melainkan dalam bentuk algoritme, viralitas, dan resonansi emosional.

Asep juga sependapat dengan opini yang disadur dari The Conservation yang membeberkan jika fenomena tersebut telah mencetuskan istilah sebagai “Power Morph” atau pergeseran kuasa digital, yaitu transformasi bentuk kekuasaan, dari struktur formal menuju jaringan afektif, yang dibentuk dan disebarluaskan oleh teknologi digital.

Dalam ekosistem Power Morph, kekuasaan tidak lagi lahir dari struktur dan institusi, melainkan dari kemampuan membentuk resonansi (gema) emosional. Dampak dari Power Morph terhadap kualitas pemerintahan adalah dapat mengaburkan kejernihan opini publik dan mengganggu sistem penegakan hukum.

“Terlebih, aturan hukum kita saat ini belum didesain untuk menghadapi dinamika berbasis algoritme. Dalam jangka panjang, ini bisa menyebabkan krisis demokrasi,” kata Asep.

Dari Kebenaran ke Resonansi

Hal lain yang mengemuka adalah kebenaran tidak lagi ditentukan oleh argumen, data, atau prosedur hukum, melainkan oleh jumlah likes, retweet, view, dan fitur interaksi lain di media sosial. Kekuatan juga tidak lagi bersumber dari bukti ilmiah, melainkan dari pengaruh emosional sebuah pesan.

“Contohnya adalah figur politik seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, atau Dedi Mulyadi, yang viral bukan karena programnya, melainkan karena cuplikan-cuplikan naratif emosional mereka di media sosial masing-masing. Ini termasuk pidato penuh simpati, blusukan dramatis, hingga momen tangis mengharukan,” ujar Asep.

Dalam konteks global, dia menyontohkan Donald Trump, yang juga menunjukkan bagaimana resonansi emosional bisa mengalahkan validitas data. Dengan kata lain, politik hari ini telah bergeser dari kontestasi ide menjadi kompetisi atensi.

“Fakta kalah oleh afeksi. Emosi yang dibentuk melalui media sosial lalu diviralkan cenderung lebih memengaruhi opini publik dibandingkan program kebijakan yang substantif,” jelas Asep.

Dalam sebuah tulisan opini mengemuka juga istilah ‘Fictocracy’, atau kekuasaan berbasis narasi, bukan data. Istilah “fictocracy” sebagai konsekuensi dari fenomena “power morph”, yakni ketika persepsi kolektif dibentuk oleh rezim yang berkuasa melalui narasi emosional.

Istilah itu tersebut diambil dari gagasan fictional governmentality dan teori symbolic power dari sosiolog asal Prancis, Pierre Bourdieu. Dengan adanya “fictocracy”, simbol kekuasaan modern tidak lagi berbasis prosedur formal, regulasi, dan data.

“Dalam konteks ini, tokoh-tokoh publik membangun citra dan kepercayaan bukan melalui program, tetapi melalui kemampuan menyentuh emosi publik. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi, misalnya, kerap membagikan momen emosional bersama warga melalui vlog. Pendahulunya, Ridwan Kamil, pun merespons peristiwa publik dengan gaya naratif penuh empati,” beber Asep.

Sementara, figur seperti Volodymyr Zelenskyy, Presiden Ukraina, juga menampilkan bagaimana kekuatan cerita dan simbol bisa menggalang dukungan lebih luas daripada prosedur diplomatik formal.

Dengan fenomena tersebut kekuasaan berpindah ke simpul digital atau “nodicentrism”. Kekuasaan negara secara formal memang masih diatur lewat hukum dan pemilu. Namun dalam praktiknya, sumber pengaruh paling kuat hari ini justru berada di tangan para platform digital seperti TikTok, YouTube, Instagram, dan X.

“Istilah ini diadaptasi dari konsep network power, yakni bagaimana platform digital kini berperan sebagai aktor politik baru dalam mengatur visibilitas dan opini publik,” katanya.

Untuk itu, kata Asep, kehadiran negara sangat diperlukan. Di antaranya membuat undang-undang, tetapi algoritma bisa membungkam siapa pun lewat praktik seperti shadow banning (pembatasan sepihak), boosting (meningkatkan engagement), atau content framing (membingkai suatu peristiwa untuk tujuan tertentu). Ini adalah bentuk baru dari kontrol politik yang tidak terlihat, namun sangat menentukan ruang partisipasi publik.

“Contohnya dapat ditemukan dalam berbagai kasus ketika konten aktivisme atau kritik terhadap pemerintah mendadak “hilang” dari linimasa atau sulit ditemukan, sementara konten lain yang mendukung narasi dominan justru naik ke permukaan,” ungkap Asep.

Kekuasaan Kini Bukan Lagi Dominasi Fisik, Tetapi Kendali Atas Mood Publik

Fenomena Power Morph seharusnya memantik kesadaran kita bahwa dunia sudah tidak lagi dikendalikan oleh ruang sidang atau lembaga formal, melainkan oleh ruang digital.

“Kita tidak bisa melawan kekuasaan digital ini hanya dengan menyebar data atau membantah hoaks. Kita harus mampu mengenali simulasi, membaca narasi palsu, dan memahami logika emosi kolektif,” ulasnya.

Dia pun berpendapat dibutuhkan kesadaran naratif bahwa setiap video, meme, atau potongan teks adalah bagian dari perebutan makna sosial. Perlawanan terhadap kekuasaan yang bersifat afektif harus dimulai dari kepekaan, bukan sekadar informasi.

“Jika kita ingin menyelamatkan demokrasi, kita harus membangun ulang struktur kekuasaan, dari yang semata prosedural, menjadi yang juga afektif, naratif, dan etis. Sebagai publik, seharusnya peka dalam membaca emosi kolektif, karena kitalah yang paling bertanggung jawab dalam merangkainya menjadi narasi publik yang etis,” pungkasnya.

Exit mobile version