Tragedi Masakan MBG: Dari Muntah Massal di Sekolah, Jejak Dapur SPPG, hingga Jerat Hukum untuk Efek Jera

Menu makanan MBG (Ist)

Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Baru baru ini sekolah berubah jadi ruang darurat. Puluhan bahkan ratusan anak tergeletak, pucat, muntah bergantian, sebagian harus dipapah ke Puskesmas maupun rumah sakit. Video beredar cepat, publik langsung menyebutnya “keracunan massal MBG”, Makan Bergizi Gratis yang seharusnya menyehatkan, tetapi dikejadian tersebut justru jadi racun bersama.

Namun dalam audit pangan, video tersebut hanyalah gejala visual, bukan bukti ilmiah. Pertanyaan mendasar adalah, racun apa yang bekerja, siapa yang lalai, dan bagaimana bisa satu menu menjatuhkan begitu banyak anak sekaligus?

Literatur epidemiologi bicara jelas, bahwa onset cepat (menit–jam) dengan muntah dominan kuat mengarah pada enterotoksin staphylococcus aureus, itu racun yang tak mati meski mie digoreng ulang. Alternatif lain bisa clostridium perfringens, bakteri yang tumbuh saat nasi/lauk ditahan di suhu ruang, memicu diare 6–24 jam kemudian.

Dari kronologi korban, terlihat onset cepat. Artinya, ini bukan sekadar “salah makan pedas”, melainkan paparan toksin yang serius.

Audit fakta dengan investigasi epidemiologi dan laboratorium

Investigasi keracunan makanan MBG itu wajib menyertakan:

  1. Data epidemiologi berisi tentang siapa makan apa, jam berapa, siapa sakit kapan.
  2. Sampel makanan dan muntahan korban, diuji mikrobiologi dan toksin.
  3. Audit dapur SPPG, terkait bagaimana penyimpanan, peralatan, sanitasi, siapa penjamah, bahan apa dipakai.

Tanpa hasil laboratorium, tudingan-tudingan hanyalah spekulasi. Bisa saja racun bukan hanya bakteri, tapi juga kimia: minyak tengik, pestisida pada sayur, atau sisa deterjen di wajan. Jadi, hal itu harus diteliti, harus dibuktikan.

Perspektif administratif, harus memperlihatkan bahwa sekolah dan SPPG wajib pastikan dapur memenuhi standar higienitas sesuai UU Pangan, PP Keamanan Pangan, Permendikbud. Jika lalai? Izin bisa dicabut, kontrak harus dibekukan.

Dari sisi pidana, maka vendor/penjamah bisa dijerat pasal 359–360 KUHP terkait kelalaian yang sebabkan luka/kematian hingga pasal 14 UU Pangan tentang produksi pangan berbahaya, dimana ancaman hukuman 5 tahun dan denda Rp10 miliar.

Dari sudut pandang korporasi dan pejabat, maka mereka bisa dijerat jika lalai lakukan pengawasan, bisa kena pasal “turut serta” sesuai KUHP pasal 55. Jika ada suap/gratifikasi kontrak, maka bisa masuk UU Tipikor.

Dari sisi keuangan negara, seluruh biaya pengobatan korban ditanggung BPJS dan APBD. Artinya, terjadi kerugian negara yang nyata. Bisa ditagih balik ke vendor yang lalai melalui mekanisme subrogasi dan gugatan perdata sesuai pasal 1365 KUHPerdata.

Peta pertanggungjawaban makanan MBG yang beracun

Vendor atau 3 orang SPPG pengelola tiap dapur cenderung terjerat kelalaian dapur, bahan busuk, dan distribusi tidak aman. Pemda/Dinas bisa diciduk karena gagal awasi, kontrak asal-asalan, tak ada inspeksi. Badan Gizi Nasional bisa dijadikan saksi karena sebagai penerbit regulasi yang longgar, lambat respon, tak siapkan sistem sanksi, yang jika terbukti maka bisa juga dijerat pidana.

Ini uraian rinci, langkah demi langkah terkait siapa bertanggung jawab di setiap titik rantai produksi yang hasilkan makanan MBG, dari bahan datang sampai makanan itu singgah ke meja siswa, supaya gampang dipakai polisi untuk pembuktian. Juga bisa dipakai oleh BGN/Pemda untuk pengaturan ulang, dan oleh auditor/investigator lapangan untuk checklist bukti.

1. Rantai alur singkat pengadaan bahan ke penerimaan bahan di dapur vendor lalu ke penyimpanan kemudian ke persiapan (cuci/iris) lantas ke area memasak, berlanjut ke pendinginan/holding bermuara ke pengemasan, lantas ke pengantaran (transport), berujung di serah terima dan konsumsi di sekolah. Di tiap fase itu ada peran dan tanggung jawab spesifik.

2. Komposisi “3 orang pengelola/pegawai BGN” di tiap dapur SPPG. Kalau tiap dapur dikelola oleh 3 orang itu maka ini susunan peran yang logis dan fungsional sekaligus mempermudah penentuan tanggung jawab jika terjadi kelalaian:

Exit mobile version