Bambang menilai, beroperasinya ojol yang tidak dipayungi hukum bukan hanya merugikan masyarakat, tapi juga bagi tenaga kerja ojol itu sendiri. Oleh karena itu dia berharap agar pemerintah memberikan jaminan kesejahteraanya. Karena jam kerja sebagai driver ojol bisa mencapai 18 jam sehari. Meskipun pekerjaan ojol pengaturan watunya lebih fleksibel.
“Sebenarnya model sitem angkutan di DKI Jakarta seperti Jaklingko kami nilai sudah positif karena memberikan prospek yang bagus dalam perannya sebagai angkutan publik yang mendekati ke arah door to door service terbatas,” tandas Bambang.
Dengan demikian, kata Bambang, peran pemerintah, baik itu di tingkat pusat maupun daerah agar lebih peduli mengembangkan angkutan publik model Jaklingko dengan menambah subsidi.
“Bila perlu digratiskan bagi masyarakat. Sebab jika model Jaklingko diperluas ke wilayah sesuai dengan kebutuhan masyarakat niscaya ojol akan hilang dengan sendirinya. Karena demand turun drastis. Meski itu ada, hanya sebagai angutan lingkungan saja,” pungkas Bambang. (dji)