Oleh: Khudori (Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan 2010-2020)
DI lini masa muncul pemberitaan ihwal harga beras di pasar dunia turun drastis. Harga beras turun 42%: dari US$650 per ton tahun lalu sekarang US$340 per ton. Ini terjadi karena Indonesia tidak impor beras seperti dua tahun terakhir. Diberitakan harga beras di pasar dunia naik tinggi ketika Indonesia mengimpor beras hingga 4,5 juta ton di 2024 dan tahun ini harga terjun bebas karena RI tidak impor beras.
Benarkah informasi itu? Merujuk data Bank Dunia dan Index Mundi, harga tertinggi beras Thailand broken 5% dari 2021 hingga November 2025 terjadi di Januari 2024: US$660 per ton. Harga di November 2025: US$368 per ton. Artinya harga saat ini lebih rendah 44% ketimbang Januari 2024. Secara umum, pada periode yang sama harga beras di pasar dunia turun drastis. Beras Vietnam (broken) 5% turun dari US$625,5 per ton jadi US$359,8 per ton. Hal serupa terjadi pada beras Pakistan 5% dan India 5%.
Harga beras dunia yang rendah saat ini merupakan bagian dari fluktuasi berulang. Sebelum pandemi Covid-19 (Januari 2017-Desember 2019), rerata harga beras Thailand 5% sekitar US$412,53 per ton, selama dan setelah pandemi Covid-19 (Januari 2020-Desember 2024) rerata harganya US$506,77 per ton, dan selama 2025 rerata harganya mencapai US$403,67 per ton. Pada tiga periode yang sama, harga beras Vietnam 5% masing-masing sebesar US$373,76 per ton, US$472 per ton, dan US$381,61 per ton.
Data-data menunjukkan apabila tidak ada goncangan pasokan-permintaan harga beras global sekitar US$400-an per ton. Sebaliknya, apabila ada goncangan pasokan, harga beras akan terdorong naik. India, eksportir beras dunia dengan pangsa sekitar 40%, beberapa kali melakukan pembatasan ekspor beras ke pasar dunia. Baik pada saat pandemi Covid-19 maupun setelahnya. Sebagai eksportir nomor satu dunia, langkah India itu berdampak langsung pada harga beras di pasar dunia: harga beras meroket.
Data FAO dan Bank Dunia menunjukkan, harga ekspor beras untuk kualitas patahan 5% di semua negara eksportir sepanjang 2025 konsisten menurun. Di India harga ekspor beras broken 5% sepanjang tahun ini turun 19%. Pada periode yang sama, harga beras ekspor patahan 5% asal Thailand, Amerika Serikat, Uruguay, dan Pakistan masing-masing turun 17,6%; 20,7%; 31,4%; dan 22,3%. Harga ekspor beras patahan 5% asal Brazil turun 31,4% dan dari Argentina turun 38,7%. Penurunan terendah terjadi di Vietnam: 13,2%.
Merujuk data FAO, prospek produksi beras yang lebih baik di banyak negara produsen dan peningkatan ekspor beras India tampaknya lebih tepat untuk menjelaskan fenomena anjloknya harga beras dunia saat ini. Ketimbang alasan karena Indonesia tidak impor beras tahun ini. Mengapa? Pertama, produksi beras di negara-negara produsen membaik. Merujuk perkiraan FAO, produksi beras global 2024/2025 mencapai 549,9 juta ton, naik 14,7 juta ton atau 2,74% dibandingkan produksi pada 2023/2024 (535,2 juta ton).
Perkiraan FAO sejalan dengan United State Department of Agriculture (USDA) yang memperkirakan produksi beras global 2024/25 mencapai 541,3 juta ton, lebih tinggi 17,3 juta ton dibanding tahun sebelumnya. Peningkatan produksi tertinggi terjadi di India: dari 137,8 juta ton pada 2023/2024 menjadi 150 juta ton pada 2024/2025 atau naik 8,8%. Merujuk USDA, kenaikan produksi beras Indonesia sebesar 3,3%, Thailand 4%, Brazil 20,8%, dan AS 2,8%. Kenaikan serupa juga terjadi di Kamboja dan Myanmar.
Dengan produksi yang naik tersebut, suplai beras global diperkirakan mencapai 749,1 juta ton (naik 19,6 juta ton dibanding tahun sebelumnya). Sedangkan permintaan beras diperkirakan sekitar 539,8 juta ton (naik 11,1 juta ton atau 2% dibandingkan tahun sebelumnya). Menurut FAO, peningkatan volume permintaan beras ini yang tertinggi sepanjang sejarah. Jadi, meskipun Indonesia tidak impor beras tahun ini permintaan beras tidak turun. Justru naik. Pertumbuhan permintaan beras dunia utamanya didorong oleh peningkatan konsumsi beras di wilayah Afrika (Angola, Kamerun, Pantai Gading, Madagaskar, Nigeria, dan Senegal) yang dipicu peningkatan pendapatan, urbanisasi, pertambahan jumlah penduduk, dan perubahan pola pangan pokok dari nonberas ke beras.
Kedua, Indonesia bukan importir beras terbesar dunia yang rutin tiap tahun. Merujuk data Bank Dunia, sepanjang 2018-2024 importir beras terbesar dunia diduduki China dengan impor 3,393 juta ton per tahun. Disusul impor beras per tahun Uni Eropa sebesar 2,255 juta ton, Filipina 2,075 juta ton, Indonesia 1,638 juta ton, Iran 1,455 juta ton, Saudi Arabia 1,451 juta ton, Benin 1,437 juta ton, Cote d’Ivoire 1,41 juta ton, Senegal 1,238 juta ton, dan Malaysia 1,213 juta ton.
Dari sisi volume, selama 7 tahun itu impor Indonesia menduduki posisi keempat dunia. Namun demikian, impor beras dalam jumlah besar oleh Indonesia tak terjadi sepanjang tahun. Sepanjang 7 tahun itu impor beras Indonesia yang besar hanya terjadi pada 2024 (sebesar 4,519 juta ton), 2023 (3,062 juta ton), dan 2018 (2,253 juta ton). Tahun lainnya volume impor bergerak dari 356 ribu ton hingga 444 ribu ton. Berpijak pada data itu, Indonesia boleh dibilang bukan importir beras terbesar tiap tahun.
Yang layak disebut sebagai negara importir beras terbesar dunia tiap tahun adalah China, Uni Eropa, Filipina, Iran, Saudi Arabia, Benin, Cote d’Ivoire, Senegal, Malaysia, dan Amerika Serikat. Sepuluh negara (dan kawasan) itu rerata mengimpor beras rutin tiap tahun dengan jumlah antara 800 ribu ton hingga 6,158 juta ton. Adalah benar impor beras Indonesia yang besar pada 2023 dan 2024 berpengaruh pada harga beras dunia. Impor Indonesia itu terjadi karena produksi tertekan El Nino.
Yang juga perlu dicatat, Indonesia tidak impor beras itu dalam konteks tidak ada penugasan impor beras kepada BULOG. Meskipun tidak ada penugasan impor beras kepada BULOG bukan berarti Indonesia tidak impor beras. Impor beras rutin dilakukan oleh swasta untuk beras khusus dan untuk industri, seperti beras Basmati, Japonica, Thai Hom Mali, dan beras patahan. Besarnya antara 350 ribu ton hingga 550 ribu ton. Dari Januari hingga Oktober 2025 impor beras khusus itu mencapai 364,3 ribu ron.
Hemat penulis, ada pekerjaan penting bagi pemerintah: membangun fondasi produksi yang lebih kokoh. Produksi beras tahun ini diperkirakan 34,79 juta ton, naik dua digit dari tahun lalu. Kenaikan produksi disumbang oleh penambahan luas panen. Bukan oleh peningkatan produktivitas. Selain itu, peningkatan produksi juga karena berkah alam berupa hujan yang hadir sepanjang tahun dan semua sumber daya (anggaran dan SDM) Kementerian Pertanian fokus mengurus padi dan jagung. “Kemewahan” ini tidak selalu ada tiap tahun. PR-nya jelas: bagaimana memastikan produksi berkelanjutan?
