JAKARTA, Mediakarya – Indonesia Audit Watch (IAW) berpandangan pengadaan jutaan unit Chromebook oleh negara mestinya menjadi lompatan digitalisasi pendidikan.
Namun yang terjadi justru sebaliknya, yakni negara hanya membeli perangkat fisik, tanpa pernah memiliki sistemnya.
“Dan di situlah letak skema bisnis yang kini sedang menyeret Kemendikbudristek ke meja penyidikan,” ujar sekretaris Pendiri IAW Iskandar Sitorus, dalam keterangan tertulisnya kepada Mediakarya, Sabtu (9/8/2025).
Dia pun menyayangkan perangkat yang dibeli tidak bisa digunakan tanpa aktivasi melalui Chrome Device Management (CDM), yaitu sistem milik Google, tapi hanya bisa diakses dan dioperasikan oleh satu perusahaan di Indonesia, yakni PT D, sebagai satu-satunya mitra resmi Google Education.
Dalam sistem ini, semua perangkat harus di-enroll menggunakan Serial Number, yang hanya bisa diaktivasi oleh korporasi D tersebut. Tidak ada opsi aktivasi mandiri oleh sekolah, daerah, bahkan kementerian.
“Apakah metode ini benar atau disengaja sepertinya benar? Bukankah ini untuk menggiring kebijakan negara menjadi menyimpang dari yang seharusnya,” tanya Iskandar.
Artinya, kata dia, negara dipaksa terus bergantung pada satu entitas privat untuk membuka akses atas alat yang sudah dibeli negara.
Dirinya juga mempertanyakan biaya aktivasi CDM Rp500.000–600.000 per unit. Jutaan unit dibeli dimana potensi fee tersembunyi mencapai Rp1 triliun lebih.
“Dan biaya ini tidak pernah diumumkan resmi, tidak bisa ditandingkan, tidak diaudit, dan langsung dimasukkan dalam satuan harga pengadaan, inilah bentuk sempurna dari desain mark-up terencana. Coba harga satuan itu diurai dengan teliti,” ujar pakar audit ini.
“Bukankah mudah bagi penyidik untuk memahaminya? Terlebih para penyedia yakni pemenang tender sudah memberi pengakuan lengkap di dalam BAP. Jadi tidak sulit lagi bagi penyidik Kejagung untuk membulktikannya bukan,” tambahnya.
Skema Bisnis Yang Direkayasa Sebelum Jabatan Resmi
Berdasarkan penelusuran Indonesian Audit Watch, perangkat dan skema aktivasi sudah dirancang jauh sebelum pengambil keputusan resmi dilantik, yakni Nadiem Makarim. Artinya sudah dengan matang sudah diniatkan oleh para pelaku. Ini bukti paling telak.
Kemudian, spesifikasi pengadaan dikunci hanya untuk perangkat dengan CDM, dan hanya perusahaan D itu saja yang bisa mengaktifkan. Terkait hal itu telah rinci dijelaskan oleh pemerintah.
Sementara, vendor global seperti Acer, Asus, Lenovo tidak bisa distribusi langsung karena harus lewat perusahaan D tersebut. Ini bukan cuma pelanggaran etika, ini rekayasa sistemik.
Jika benar, maka termasuk dalam cakupan:
1. UU Tipikor di pasal 15 terkait perencanaan korupsi, pasal 13 tentang janji proyek sebelum jabatan. Kemudian
2. UU 5/1999 (Anti Monopoli) pasal 22 karena tender diarahkan ke satu vendor,
3. UU 30/2014 (Administrasi Pemerintahan) di pasal 12 tentang pejabat tidak boleh untungkan koleganya sebelum menjabat,
4. UU Keuangan Negara terkait pemborosan anggaran tanpa dasar efisiensi dan kebermanfaatan publik.
Dalam kasus tersebut, IAW menuding bahwa pengadaan itu bukan cuma Chromebook, tapi juga sistem yang dikunci satu tangan vendor.
Lebih lanjut, dalam proyek pengadaan Chromebook oleh negara, publik kerap mengira ini hanya soal “beli laptop untuk sekolah”. Padahal sesungguhnya, negara sedang membeli sebuah sistem digital yang tidak bisa berjalan tanpa aktivasi melalui vendor tunggal.
IAW juga mengurai alur teknis di balik layar:
1. PO barang vendor pengadaan (pemenang tender DAK) memesan perangkat ke principal (Acer, Asus, dll).
2. Barang tiba lalu principal mengirim barang ke penyedia lokal. Namun perangkat ini masih terkunci.
3. Aktivasi inilah kunci utama. CDM (Chrome Device Management) hanya bisa diaktifkan oleh PT D melalui serial number yang terhubung ke Google Admin Console.
4. Didistribusi, setelah diaktivasi oleh D, baru perangkat di-packing ulang dan dikirim ke sekolah.
“Tanpa tahap ke-3 (aktivasi CDM oleh D), maka seluruh proses berhenti. Perangkat tidak bisa dipakai,” tegasnya
*Perusahaan D satu-satunya gerbang sistem*. Di titik ini, peran D bukan sekadar distributor. Mereka menjadi satu-satunya gatekeeper sistem digital pendidikan nasional, karena hanya mereka yang: