IAW Sebut Kasus Vonis Tom Lembong Cermin Standar Ganda Hukum Indonesia

Tom Lembong. (Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Sistem peradilan di Indonesia kembali menunjukkan betapa hukum hanya tajam terhadap pihak di luar kekuasaan. Hal itu menyusul dengan putusan Tom Lembong yang dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara.

Mantan Menteri Perdagangan era Joko Widodo itu dijatuhi hukuman lantaran dianggap ikut bertanggung jawab atas kerugian negara sebesar Rp578 miliar hasil hitungannya BPKP tahun 2025, terkait impor gula tahun 2016.

Berdasarkan hasil hitungan BPKP tidak diterima oleh Majelis Hakim. Hitungan Hakim kisaran Rp194 miliar. Namun yang lebih mencengangkan lagi, mantan menteri perdagangan lain tidak disidik, apalagi dituntut hukum.

Anehnya lagi, dasar penghukuman terhadap Tom Lembong itu bukanlah hasil audit dari lembaga konstitusional negara yakni BPK melainkan hanya hitungan audit internal dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan tanpa justifikasi BPK.

Padahal lebih dari itu, Indonesia Audit Watch (IAW) mengungkap dugaan korupsi dalam importasi gula yang dinilai sangat fantastis,, sejak tahun 2004 hingga 2024. Dalam kasus itu, BPK justru telah mengungkap sebanyak 91 kasus impor gula dengan total potensi kerugian negara hingga Rp31,6 triliun.

Sekjen Pendiri IAW, Iskandar Sitorus mengungkapkan, dari jumlah fantastis itu, hanya tujuh kasus yang pernah ditindaklanjuti secara hukum. Sisanya? Hilang ditelan arsip dan politik pembiaran.

“Lebih ironis lagi, tujuh kasus yang disidik-pun menggunakan audit BPKP, bukan audit BPK. Padahal menurut UUD 1945, hanya BPK yang diakui sebagai lembaga pemeriksa keuangan negara yang sah dan hasil auditnya dapat digunakan sebagai alat bukti di pengadilan. Hal ini ditegaskan dalam pasal 23E UUD 1945 dan diatur dalam Undang-Undang nomor 15 tahun 2006,” ungkap Iskandar dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Selasa (22/7/2025).

Sedangkan BPKP, sebagaimana ditegaskan dalam Peraturan Presiden Nomor 192 Tahun 2014, hanyalah lembaga di bawah Presiden, semacam auditor internal eksekutif, yang tidak memiliki kekuatan pembuktian dalam perkara pidana.

“Dengan kata lain, vonis terhadap Tom Lembong secara hukum bisa dikategorikan cacat formil karena bersandar pada audit non-konstitusional,” kata Iskandar.

Iskandar juga mempertanyakan mengapa audit BPK yang jauh lebih besar dan mendalam tidak dijadikan dasar penindakan hukum. Selain itu, dirinya juga menyoal aparat penegak hukum justru lebih memilih menggunakan audit internal, sementara audit konstitusional diabaikan.

Padahal, dalam audit BPK mencatat bahwa sejak 2004, telah terjadi lonjakan kasus penyimpangan impor gula dari tahun ke tahun. Ada masa di mana kerugian negara mencapai lebih dari Rp4 triliun per tahun, namun tak satu pun pejabat atau pelaku usaha yang diproses.

“Bahkan saat audit BPK secara eksplisit menyebut potensi kerugian dan pelanggaran hukum, aparat penegak hukum seperti KPK, Kejaksaan, dan Polri tetap bungkam,” jelasnya.

Dia pun menilai kasus Tom Lembong menjadi contoh paling telanjang dari standar ganda hukum Indonesia. Di mana seseorang bisa dijatuhi hukuman berat karena audit dari lembaga internal.

“Sementara puluhan kasus sejenis dengan kerugian puluhan triliun rupiah yang diaudit resmi oleh BPK malah diabaikan. Inilah anomali tersebut,” ujarnya.

Kendati demikian, kata Iskandar, anomali dapat diperbaiki oleh aparat penegak hukum (APH) dengan cara memeriksa semua menteri perdagangan dalam 20 tahun terakhir sesuai LHP BPK.

“Kenapa, hal itu dilakukan supaya perlakuan sama terhadap Tom Lembong. apakah APH memiliki keberanian yang setara,” jelasnya.

Namun demikian, Iskandar menilai bagi siapa pun yang pernah dihukum dengan dasar audit BPKP, termasuk Tom Lembong, masih ada jalan hukum yang sah dan terhormat.

Yang pertama, mengajukan Kasasi maupun Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung dengan dalil novum, yaitu bukti baru berupa ketimpangan penegakan hukum antara satu kasus dengan puluhan kasus serupa lainnya,” jelasnya.

Kemudian kedua, menggugat secara perdata atau mengajukan judicial review, baik terhadap audit itu sendiri maupun terhadap regulasi yang menyimpang dari UUD 1945.

Ketiga, mengajukan pencabutan audit dan menyampaikan amicus curiae atau sahabat pengadilan yang menjelaskan cacatnya proses hukum sebelumnya.

Terkait dengan kasus yang menimpa Tom Lembong, Indonesian Audit Watch menyerukan agar KPK, Kejaksaan, dan Polri harus membuka kembali 84 kasus impor gula lainnya yang datanya telah diperiksa BPK.

Selain itu, Kejaksaan Agung wajib memberikan penjelasan resmi, mengapa lebih memilih audit BPKP dalam beberapa kasus, dan mengabaikan audit BPK dalam puluhan kasus lainnya.

“Kemudian Mahkamah Agung perlu membuat yurisprudensi korektif untuk membatalkan atau menolak audit dari lembaga non-konstitusional sebagai alat bukti pidana,” ungkap Iskandar.

Dalam kaitan itu, kata Iskandar, publik berhak tahu, mengapa seseorang bisa dihukum berat hanya karena audit internal, sementara para pelaku besar lain dibebaskan dengan diam.

“Jika hukum hanya digunakan untuk menjerat yang kecil dan membebaskan yang besar, maka bangsa ini sedang mempermainkan keadilan itu sendiri. Kasus Tom Lembong bukan soal satu orang, tapi soal sistem hukum yang sudah menyimpang terlalu jauh selama dua dekade terakhir,” katanya.

Lebih lanjut, kasus Tom Lembong harus menjadi pintu masuk APH untuk memeriksa mantan menteri perdagangan lainnya.

“Kenapa demikian, supaya rakyat bisa melihat pejabat dan pengusaha yang serakah pengidap “Serakahnomics” seperti julukan yang disematkan oleh Presiden Prabowo Subianto. Jadi seluruh APH jangan berkilah lagi,” pungkasnya.*”

Exit mobile version