Daerah  

Kapal 30 GT Serbu Zona Nelayan Kecil, Aturan Cuma di Atas Kertas

Abdila Mandea, Kepala Desa Gua Hira Morotai Utara, menyatakan keprihatinan mendalam. “Kondisi ini sangat merugikan nelayan kami yang hanya mendapat bagian kecil dari nilai ekonomi sebenarnya,” tegasnya.

Menanggapi situasi ini, Rachma menekankan pentingnya penegakan hukum. “Keberadaan kapal besar di jalur ini tidak hanya merampas ruang tangkap nelayan lokal, tetapi juga mengancam ekosistem perairan dangkal. Diperlukan operasi terpadu yang konsisten dari PSDKP, TNI AL, dan Polairud Polri untuk menciptakan efek jera. Tanpa implementasi nyata, Permen KP 18/2021 hanya akan menjadi regulasi tanpa daya,” pungkasnya.

Struktur Pasar Timpang dan Krisis Rantai Dingin

Kehadiran Sentra Kelautan dan Perikanan Terpadu (SKPT) Morotai yang diresmikan Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono akhir April lalu semestinya menjadi momentum transformatif bagi sektor perikanan setempat. Konsep ini dirancang sebagai ekosistem terpadu yang mengedepankan prinsip integrasi, efisiensi, peningkatan kualitas, dan percepatan produksi. Lokasinya yang strategis di pinggir Samudra Pasifik menempatkannya sebagai gerbang ekspor tuna utama menuju pasar premium seperti Jepang dan Singapura. Sayangnya, konsep ideal di atas kertas ini berhadapan dengan realitas struktur pasar dan infrastruktur yang belum seimbang.

Saat ini, rantai nilai tuna di Morotai masih berkutat pada pola lama. Hasil tangkapan nelayan pada akhirnya terpusat pada satu perusahaan pengolah tunggal. Kondisi ini menjelaskan mengapa Morotai belum memerlukan Sentra Tempat Pelelangan Ikan (TPI), karena tidak terjadi transaksi jual-beli hasil laut yang kompetitif, baik melalui sistem lelang maupun mekanisme pasar lainnya. Sebagian besar margin hilirisasi, saat tuna segar diolah menjadi loin, steak, atau sashimi yang nilainya berlipat ganda, justru mengalir ke perusahaan perantara.

Akibatnya, nelayan kembali terjebak sebagai pemasok bahan baku mentah dengan daya tawar yang lemah. Persoalan ini semakin parah dengan kondisi infrastruktur rantai dingin yang vital kini ambruk. Mesin pencetak es (ice flake) bantuan KKP di lima lokasi—Wayabula, Sangowo, Buho-buho, Bere-bere, dan Cendana—saat ini mangkrak akibat kesulitan perawatan dan kelangkaan suku cadang. Fasilitas penyimpanan dingin (cold storage) di SKPT juga kerap “mati suri” akibat pasokan listrik di Morotai yang tidak stabil.

“Imbasnya, nelayan terpaksa menjual hasil tangkapan dengan harga murah atau menyaksikan ikannya membusuk. Krisis ini memutus mata rantai hilirisasi di hulu dan mengembalikan nelayan pada posisi sebagai pedagang bahan mentah yang rentan,” papar Rachma. Situasi ini jelas bertolak belakang dengan semangat Asta Cita yang menekankan peningkatan nilai tambah bagi nelayan.

Langkah Solutif: Membangun Ekosistem Berkeadilan demi Asta Cita

Untuk memutus mata rantai permasalahan ini, diperlukan pendekatan komprehensif yang berfokus pada penciptaan ekosistem berkeadilan, tidak sekadar pembangunan infrastruktur semata.

Pertama, penegakan hukum yang konsisten mutlak diperlukan. Operasi terpadu dan rutin antara PSDKP, TNI AL, dan Polairud harus ditingkatkan untuk menertibkan pelanggaran batas zonasi tangkap. Data KKP mencatat, 78% dari total 1.382 kasus pelanggaran perikanan sepanjang 2023 justru terjadi di wilayah terpencil seperti Morotai.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *