Oleh: Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)
Putusan pengadilan telah dijatuhkan. Kerugian negara telah dihitung secara resmi. Angkanya bukan receh: Rp1.253.431.651.169. Tapi anehnya, setelah palu Hakim diketuk, negara justru seperti kehilangan alamat untuk menagih. Terpidana dipulihkan, kerugian dibiarkan menggantung. Inilah satu-satunya negara di dunia yang bisa memiliki putusan pidana korupsi, tetapi kehilangan subjek yang harus membayar.
Ini bukan cerita fiksi. Ini potret nyata dari perkara korupsi pengadaan kapal di PT ASDP Indonesia Ferry. Korupsinya nyata. Putusannya nyata. Tapi pertanggungjawaban finansialnya tiba-tiba seperti dihapus oleh kabut administratif bernama rehabilitasi.
Padahal, dalam sistem hukum positif Indonesia, tidak ada satu pun norma yang membenarkan penghapusan kewajiban membayar kerugian negara hanya karena status pidana seseorang dipulihkan.
Kewajiban negara dimulai
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 jo. Undang-Undang nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi secara tegas menyatakan dalam pasal 18: terpidana wajib membayar uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi. Jika tidak dibayar, harta disita dan dilelang. Jika tidak cukup, diganti dengan pidana penjara. Artinya sederhana: korupsi bukan hanya soal badan dipenjara, tetapi juga soal uang negara yang wajib kembali.
Namun yang terjadi di kasus ASDP justru terbalik. Status pidana dipulihkan, tetapi uang negara dibiarkan menjadi yatim piatu hukum! Jaksa kehilangan subjek eksekusi. Negara kehilangan keberanian menagih. Dan rakyat kehilangan hak atas uangnya sendiri.
KPK berhenti hanya jadi museum berkas perkara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak bisa berlindung di balik kalimat “perkara sudah diputus”. UU momor 30 tahun 2002 tentang KPK yang telah diubah dengan UU nomor 19 tahun 2019 memberi kewenangan yang sangat luas kepada KPK untuk menyelamatkan keuangan negara. KPK bukan sekadar mesin penjara, tetapi juga mesin pemulihan aset negara. KPK masih memiliki ruang hukum untuk:
- Mendorong penyitaan berdasarkan KUHAP pasal 38 dan 39,
- Mengaktifkan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, yakni UU nomor 8 tahun 2010,
- Menelusuri aliran dana ke PT Mahkota Pratama, PT Indonesia VIP, dan jaringan korporasi terkait,
- Serta membuka siapa sesungguhnya ultimate beneficial owner di balik perusahaan-perusahaan tersebut.
Jika KPK berhenti di putusan pidana, maka KPK secara tidak langsung sedang membangun preseden berbahaya, yakni negara boleh kalah dalam urusan uang, asalkan pelaku sempat dihukum.
Kejaksaan adalah eksekutor bukan penonton
Dalam hukum acara pidana, eksekutor putusan pengadilan bukan KPK, melainkan Kejaksaan, berdasarkan pasal 270 KUHAP dan Undang-Undang Kejaksaan. Jika ada uang pengganti dalam putusan, maka Jaksa wajib menagih. Jika tidak dibayar, wajib menyita dan melelang.
Jika subjek pidana dianggap “hilang” karena rehabilitasi administratif, maka Kejaksaan masih memiliki pintu hukum melalui gugatan perdata berdasarkan pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum. Negara tidak boleh menyerah hanya karena satu pintu ditutup. Masih banyak pintu hukum lain yang terbuka lebar!
BPKP jangan berhenti pada laporan angka
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), berdasarkan Perpres nomor 192 tahun 2014 dan UU nomor 15 tahun 2004, juga masih memiliki kewenangan audit investigatif dan audit forensik. BPKP tidak boleh berhenti pada angka kerugian semata. BPKP juga wajib menelusuri:
