Di balik semua penampilan fisik itu sebenarnya ada faktor lain yang tak semua orang menyadarinya. Sikap dan tata krama Sukarno, rupanya telah menerbitkan simpati banyak perempuan. Sukarno tahu betul bahwa perempuan sangat senang dipuji serta diperlakukan sebagai orang yang paling penting di dunia ini.
Dalam berbagai kesempatan, Sukarno selalu bersikap sopan dan hangat terhadap setiap perempuan. Contohnya, dia tak segan-segan mengambilkan minum, menyalakan api rokok, atau tangannya yang sigap menyambut seorang perempuan yang baru turun dari mobil.
Ada pula satu kebiasaannya yang terasa spesial, yakni Sukarno sangat memperhatikan penampilan mereka. Pujian dan kekaguman sering terlontar dari mulutnya secara spontan. “Alangkah serasinya kain kebaya yang anda pakai” atau “Nyonya kelihatan lebih muda dengan tatanan rambut itu”.
Terhadap istri-istrinya, Sukarno paling rajin memberikan kritikan terhadap pakaian, gaya rambut, bahkan riasan. Bahkan, dia tidak segan-segan turun tangan sendiri misalnya untuk membenahi dandanan yang kurang pas atau memasang selendang. Diperlakukan demikian perempuan mana yang tidak akan tersanjung?
“Daya tarik serta taraf intelektualnya yang tinggi menjadikan Sukarno seorang master dalam menaklukkan hati wanita,” tutur Bambang Widjanarko, ajudan pribadi Sukarno dalam bukunya Sewindu Dekat Bung Karno.
Bambang juga bersaksi, Sukarno pandai mencurahkan perhatian terhadap perempuan. Hingga akhirnya perempuan itu merasa menjadi satu-satunya orang yang paling dicintai. “Bung Karno tahu, setiap wanita amat senang mendapat pujian,” tulis Bambang yang mendampingi Sukarno selama delapan tahun.
Sikap sopan ini tidak hanya menjadi buah bibir di kalangan perempuan Indonesia. Dalam kunjungan ke Eropa dan Amerika, para perempuan Barat yang sudah terbiasa menghadapi tatakrama semacam ini juga memberi pujiannya. “Your President is real gentleman,” puji mereka seperti dikatakan Bambang.
Bagi Sukarno, kecantikan adalah sebuah keindahan. Fakta inilah yang dibenarkan Hartini, istri nomor empat. “Dia sangat mencintai keindahan, termasuk keindahan dalam kecantikan wanita,” tutur Hartini kepada Tempo, 1999.
Sebagai pencinta seni sekaligus seniman, Sukarno rupanya juga tidak bisa jauh-jauh dari “keindahan” itu. Bahkan menempatkan keindahan itu di sekitarnya. Ini yang terlihat dari koleksi berbagai benda seni di istana-istana kepresidenan di Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, dan Bali.
Benda-benda seni berupa lukisan atau patung itu umumnya menggambarkan perempuan dengan kemolekan tubuhnya. Bagi pencinta seni, karya-karya itu mempunyai nilai yang amat tinggi. Namun bagi orang awam, justru menimbulkan rasa risih. Itu pula sebabnya, pada masa Orde Baru, karya-karya tersebut langsung disimpan di gudang.
Apresiasi terhadap tubuh perempuan ini lantas membuat orang menghubungkan-hubungkan dengan gairah Sukarno dalam hal kebutuhan biologisnya. Apakah benar dia memiliki gairah seksual yang besar?
Khusus untuk soal yang sangat pribadi ini, kita hanya pernah mendengar penuturan blak-blakannya kepada Cindy Adams, penulis buku biografinya.”I’m a very physical man. I must have sex everyday.”
Memang tidak pernah ada konfirmasi. Terutama dari para istrinya – karena mereka yang paling tahu tentunya. Mungkin, hanya Yurike Sanger yang pernah menyinggungnya, meski kebenarannya perlu dipertanyakan. Dalam buku Bung Karno, Perginya Seorang Kekasih Suamiku dan Kebanggaanku karya Erka, Yurike mengungkapannya.
Itulah sebabnya Babe (sebutan untuk Soekarno) tanpa menggunakan obat-obat kuat, toh sangat hebat di tempat tidur,” tutur Yurike yang dinikahi saat masih berusia SMA. Maklumlah jika istri kedelapan Sukarno itu tidak canggung mengatakannya mengingat usia dan latar belakangnya ketika itu.
Keberadaan perempuan juga yang seolah mampu memberi tenaga tambahan kepada Sukarno. Dalam pesta dansa contohnya, Sukarno yang dikenal pintar berdansa cha-cha itu bisa berganti-ganti menggandeng tangan perempuan, dalam 2-4 kali putaran irama. Staminanya tak pernah surut jika ada perempuan di sekelilingnya.
Terpaut lebih dari 40 tahun
Berbicara perjalanan kisah cinta Sukarno, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja barisan Bhinneka Tunggal Ika. Kelompok penggembira ini banyak dilibatkan dalam acara-acara kenegaraan di era tahun 1960-an. Mereka terdiri atas barisan para pelajar sekolah menengah yang biasanya berjumlah 50 pasang remaja.
Sebagai barisan pagar betis dalam acara kenegaraan, tentu yang terpilih dalam barisan ini adalah remaja-remaja rupawan. Selain menyambut tamu, tugas mereka yang sebenarnya lebih mulia, yakni mewakili keanekaragaman budaya Indonesia.