Kisah Cinta Soekarno, Sang Arjuna dari Istana yang Pandai Memikat Hati Wanita

Dari barisan yang kehadirannya diorganisir oleh pihak protokoler istana ini, terdapat dua gadis yang kemudian menjadi istri dari Sukarno yakni Yurike Sanger dan Heldy Djafar. Dua nama yang sebenarnya tidak terlalu lama menjadi perbincangan, seiring memudarnya pamor Sukarno di senjakala kekuasaannya.

Soal Yurike Sanger yang dinikahi Sukarno pada 1964, umumnya publik sudah tahu. Sementara untuk sosok Heldy, masih menjadi pembicaraan di kalangan terbatas. Nama gadis dari Tenggarong, Kalimantan Timur ini, baru benar-benar mencuat setelah pengakuannya muncul dalam buku Heldy Cinta Terakhir Bung Karno oleh Ully Hermono dan Peter Kasenda. Buku ini sendiri baru terbit pada 2011 atau setelah tumbangnya Orde Baru yang dikenal sangat anti-Sukarno.

Karena berasal dari barisan Bhinneka Tunggal Ika, tentu usia keduanya masih sangat muda saat menjadi Nyonya Sukarno. Bahkan, status mereka sebenarnya masih pelajar sekolah menengah. Bayangkan, dari gadis remaja kinyis-kinyis, menjadi istri presiden yang memperoleh pengawalan dan diperhatikan segala kebutuhannya. Hidup mereka berubah 180 derajat dalam sekejap.

Akan tetapi jika kita jeli, justru di sinilah menariknya sosok Sukarno. Meski terpaut usia lebih dari 40 tahun, dia ternyata mampu menghilangkan jarak dengan remaja-remaja itu.

Dengan segudang pengalamannya dalam percintaan, dia membuat hubungan itu menjadi tidak menegangkan. Terkadang Sukarno bahkan mampu menempatkan diri selayaknya kekasih remaja, yang suka bermanja-manja dan minta diperhatikan.

Sebagai pria yang pertama menaruh hati, Sukarno juga sangat piawai memberi sinyal cinta kepada lawannya. Pertemuan pertama dengan Yurike misalnya, terjadi saat gadis itu masih kelas 2 SMP di sebuah acara di Istana Olahraga Senayan. “Radar” Sukarno langsung menangkap keberadaan Yurike yang semula disangkanya mahasiswa.

Sejak sapaan pertama itulah, Yurike selalu mendapat perhatian lebih dari Sukarno. Tapi hebatnya, Sukarno selalu bisa memahami Yurike sebagai gadis yang semula masih canggung berhadapan seorang pria dewasa. Dengan sabar Sukarno menanti, sampai gadis manis asal Manado ini mampu mencairkan kekakuan dirinya.

Begitu juga dengan Heldy yang pertama kali disapa Sukarno saat kelas 2 SKKA (sekarang SMK). Sukarno mencoba memahami betul perasaan dari gadis yang taat beragama dan berasal dari keluarga terpandang ini. Dia menempatkan Heldy sebagai perempuan terhormat melalui dandanan serta perilakunya sehari-hari.

Dalam membina hubungan kepada keduanya, polanya juga mirip-mirip. Tanpa banyak orang tahu, Sukarno sering menyambangi gadis-gadis ini di rumah masing-masing. Mungkin inilah yang disebut berpacaran.

Sebelum terjadi pernikahan, Sukarno memang telah memberikan sebuah rumah kepada mereka agar selalu leluasa bertemu. Yurike di Polonia, Jakarta Timur (belakangan menjadi posko kampanye Prabowo-Hatta pada Pemilu 2014). Sedangkan Heldy di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Biasanya presiden datang dengan kendaraan biasa dan tanpa pengawalan menyolok.

Menariknya, di antara sembilan istri Sukarno, mungkin hanya mereka berdua yang pernah “akur” berkumpul. Beberapa kali Sukarno meminta Heldy ke rumah Yurike untuk menemuinya. Bahkan mereka bertiga pernah main kartu bersama. Meski belakangan, seperti dituturkan Heldy dalam Heldy, Cinta Terakhir Bung Karno, Yurike mulai menunjukkan rasa tidak senang dengan kehadiran dirinya.

Sayangnya, meski menjalani kisah senada, tapi akhir cerita dari keduanya sedikit berbeda. Setelah bercerai dengan Sukarno, Heldy masih menempati rumahnya di Kebayoran Baru, meski tak ada lagi pengawalan. Dia menjadi gadis biasa sampai kemudian menikah dengan Gusti Suriansyah Noor, keturunan bangsawan dari Kalimantan.

Sedangkan Yurike, pada awalnya tidak pernah berniat untuk bercerai dari Sukarno. Namun suaminya itu yang malah terus menyarankan, mengingat kondisi kesehatan dan keuangannya sudah tidak memungkinkan. Hingga akhirnya, keduanya bercerai secara baik-baik.

Hanya saja yang mungkin menyedihkan, belakangan Yurike juga harus angkat kaki dari rumah yang ditempatinya. “Dik, lebih baik tinggalkan rumah itu. Toh, bukan milik kita,” begitu pesan Sukarno yang ditulis di kertas bekas bungkus rokok.

Meski sempat bingung dengan kenyataan itu, dia akhirnya angkat kaki juga. Sepeninggal Sukarno, dia menikah dua kali dan memiliki empat orang anak. Hanya saja, soal bagaimana dengan kondisi masa tuanya saat ini, tak banyak orang yang mengetahuinya. (eka)

Exit mobile version