Langit Cinta Untuk Tom Lembong

Thomas Trikasih Lembong. (Foto: Ist)

Oleh: Yusuf Blegur

Lebih dari sekedar target kriminalisasi imbas mendukung Anies Baswedan, kasus Tom Lembong memberi hikmah bahwasanya kelompok oposisi dan gerakan kritis itu tidak serta-merta dari kalangan yang biasa distigma Kadrun, khilafah, Abah dll.

Thomas Trikasih Lembong, ditengah pembunuhan karakter dan upaya kriminalisasi yang dilakukan rezim kekuasaan terhadap dirinya. Pria intelektual dan profesional yang ‘charm’ dan hangat itu, terus paralel memancarkan sinar yang menerangi kegelapan sekaligus kebobrokan sistem politik dan hukum di republik ini.

Tom Lembong, biasa disapa, seorang kristiani keturunan Tionghoa-Manado kelahiran 4 Maret 1971. Justru menuai banjir simpati, empati dan dukungan publik yang luas saat pemerintah melalui otoritas hukumnya gigih mendowngreed keadilan.

Alhasil, Tom Lembong mendapatkan dukungan publik lintas sektoral yang memang sudah jumud terhadap praktek-praktek hukum rimba selama ini. Tom Lembong kini menyita perhatian internasional, sementara secara nasional dukungan lintas sektoral sudah menembus keragaman status sosial, profesi bahkan suku, agama ras dan antar golongan.

Menyandang profiling dan behavior yang prestise dan estetik, Tom Lembong terancam menjadi korban birokrasi hipokrit, tamak dan melampaui batas. Kekayaan intelektual dan kekaryaan yang begitu impulsif yang menjadi rekam jejak Tom Lembong. Mewarnai lulusan Harvard yang pernah mengabdi sebagai Menteri Perdagangan dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal yang bersih dan berprestasi, kini dijarah tangan-tangan kotor birokrasi korup berwatak budak dan menghamba oligarki.

Peradilan sesat yang memaksakan hukuman untuk Tom Lembong dalam Perkara impor gula pada tahun 2017, menjadi komparatif tak berimbang dari skandal-skandal mega korupsi lainnya yang fantastis telanjang dan begitu seronok di negeri berkedok reformasi. Baik kepada sesama sesama koruptor dan penghianat negara, namun jahat terhadap pejuang kebenaran dan keadilan. Begitulah rezim menyandang gelar kepalsuan pemimpin dan pemerintahan.

Pelbagai kalangan mulai dari aktifis, pengamat, praktisi dan birokrasi menyatakan prihatin terhadap pemerkosaan hukum yang menimpa Tom Lembong. Representasi institusi negara dan independen baik dari pengacara, mantan hakim Mahkamah Konstitusi, mantan komisioner KPK serta tak luput mahasiswa dan profesor-doktor maupun para Purnawirawan TNI-Polri ramai membela Tom Lembong.

Begal hukum terhadap Tom Lembong yang dilakukan aparat pengadilan semakin menegaskan senyata-nyatanya bahwasanya rezim tidak hanya diktatorian dan otoriterian terhadap konsitusi dan demokrasi. Negara hukum telah digantikan oleh negara kekuasaan yang ditopang para pemimpin dan elit politik biadab dan barbar.

Kriminalisasi Tom Lembong Menepis Stigma Radikal dan Fundamental

Perlakuan pemerintah pada kasus Tom Lembong yang mencolok dipaksakan dan ceroboh dalam tinjauan kaidah hukum, semakin membuktikan rusak dan hancurnya tata kelola negara Indonesia secara komprehensif selama ini. Praktek-Praktek jual beli hukum, perkara hukum yang bisa dipesan dan Siapa yang kuat (uang, pengaruh dan kekuasaan) yang mengendalikan hukum. Data dan fakta dunia peradilan Indonesia yang demikian, saat ini tak lagi bisa terbantahkan dan menjadi rahasia umum.

Namun, betapapun kekuasaan rezim begitu kuat dan tampak tak bisa dirobohkan. Seperti peribahasa di atas langit masih ada langit, ada kekuasaan Tuhan yang mulai menegur dan menghukum setiap tindakan manusia yang dzolim dan melampaui batas. Kebobrokan rezim terus terkuak, beruntun dan terbongkar karena perilaku aparatur yang menyimpang baik secara personal maupun kolektif. Sistem dan struktur pemerintahan kian menunjukan kebuntuan dan kegagalan.

Dalam rekayasa kasus Tom Lembong ada “blessing” sendirinya yang membuat gugurnya stigma radikalisme, fundamentalisme dan terorisme yang selama ini dituding rezim dan lekat pada kalangan oposisi dan gerakan kritis. Proxy rezim berupa isu-isu sektarianisme, primordialisme dan intoleransi yang selama ini menjadi senjata ampuh rezim dalam menghadapi kritik yang dianggap mengancam kekuasaannya, mulai rontok dari kasus Tom Lembong.

Selain aspek manipulasi hukum, ada tendensi politik yang masif dalam mendiskreditkan figur Anies yang dianggap beririsan dengan Tom Lembong. Dari pelbagai lingkaran Anies yang potensial yang terus diupayakan kriminalsasinya, justru menaikan kasus Tom Lembong menjadi keniscayaan sekaligus pertaruhan kekuasan rezim. Tom Lembong hanya sasaran antara, bagi rezim Anies yang menjadi sasaran ideal. Sayangnya, rezim abai dengan menargetkan Tom Lembong, profil Tom Lembong dan rekayasa hukumnya cenderung dapat menjadi bumerang bagi rezim.

Rezim seperti sedang mendeklarasikan, kalangan oposisi dan gerakan kritis itu tidak lahir sekonyong-konyong hanya dari kalangan Arab, Yaman dan negara-negara Timur Tengah lainnya yang oleh buzzernya disebut sebagai Kadrun, Unta dll. yang sering dilontarkan para ternak dan buzzer bayaran pemerintah.

Komunitas suku dan negara leluhur itu yang biasa diframing kekuasan ingin menggantikan Pancasila, UUD 1945 dan NKRI, seakan ditepis mitosnya dengan munculnya kriminalisasi Tom Lembong yang seorang kristian dan keturunan Tionghoa serta jejaring internasionalnya. Setidaknya, menjadi “breaking ice” bagi stereotif seorang Anies Baswedan oleh rezim selama ini. Momentum yang terjadi selain solidaritas dan konsolidasi, bagi Anies Baswedan hikmahnya berupa refresh sebagai pemimpin nasionalis dan internasionalis yang berkarakter universal, egaliter dan berkeadilan.

Terlepas dari ujian kesabaran dan semangat perjuangan melewati upaya kriminalisasi rezim pada Tom Lembong khususnya dan Keluarga pada umumnya. Tom Lembong telah membuat sejarah bagi babak baru politik kontemporer dan platform kebangsaan Indonesia kedepannya.

Sekali lagi, usai Anies, Tom Lembong telah terpilih menjadi manusia pejuang yang berani memilih dan bersikap pada perjuangan menegakan kebenaran, kejujuran dan keadilan. Bahwa rezim saat ini menjadi sentral kebohongan dan kejahatan bernegara. Masih ada rakyat yang sadar dan tercerahkan untuk tetap mencintai Indonesia, serta masih ada Tuhan Yang Maha Kuasa yang menjadi penjaga keseimbangan dunia dan kehidupan di dalamnya.

Tom Lembong tetaplah menjadi orang baik, cerdas dan bermanfaat. Penderitaan adalah bagian dari iman dan ujian kepemimpinan yang menjadi jalan sunyi menghantarkan perjuangan menuju cita-cita besar dan hakiki. Bersabarlah untuk tidak mengikuti jalan keramaian dan banyak orang, namun setia mengikuti langkah kebenaran. Biarlah Tuhan yang tahu dan langit menyirami cinta untuk Tom Lembong.

Penulis: Analis Center for Public Policy Studies (CP2S)

Exit mobile version