Memastikan Arah Baru Ekonomi Indonesia

JAKARTA, Mediakarya – Nusantara Centre bersama Wamensetneg Bambang Eko Suhariyanto dan tim pakar Presiden yang dimotori oleh Prof. Burhanuddin Abdullah, menggelar rapat pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perekonomian Nasional pada Sabtu (13/9), bertempat di Jl. Hang Tuah V No.49, Jakarta.

Rapat ini dihadiri oleh sejumlah tokoh penting, di antaranya Budi Mulia, Dadang, Khairil, Dwi Badarmanto, Prof. Yudhie Haryono bersama rekan-rekan dari Nusantara Centre (Asy’ari Muchtar, Rian Prasetyo, Setiyo Wibowo), Dr. Agus Rizal (ekonom Pancasila) bersama rekan-rekan dari Univ. M.H. Thamrin (Dedi Setiadi, Firdaus, dan Yaya Sunaryo).

Dalam paparannya, Bambang Eko menyambut baik RUU yang dibahas ini. Namun, dia juga menyoroti pentingnya analisis risiko dalam perumusan RUU ini. Menurutnya, setiap pasal harus mempertimbangkan dampak jangka panjang agar kebijakan ekonomi tidak menimbulkan gejolak di kemudian hari.

Anggota tim pakar lainnya, Budi Mulia, menegaskan perlunya arah sistem ekonomi Indonesia yang berpijak pada Pasal 33 ayat 1 UUD 1945.

Menurut dia, para stakeholders harus menyadari pentingnya RUU ini sebagai “undang-undang induk” yang mengarahkan pasar agar tetap terkendali oleh prinsip keadilan sosial.

Sementara itu, pendapat lain juga dikemukakan Dadan. Dia menilai RUU Perekonomian Nasional ini juga berfungsi sebagai pengkalibrasi terhadap praktik ekonomi yang berjalan saat ini.

Senada dengan itu, Prof. Yudhie Haryono menekankan bahwa RUU ini merujuk pada UUD 1945 yang asli dan harus menjadi antitesis dari omnibus law.

“RUU ini bukan sekadar regulasi ekonomi, melainkan juga instrumen untuk melawan ideologi yang bertentangan dengan Pancasila,” ujar Prof Yudhie.

Pancasila sebagai Ruh Ekonomi Nasional

Isu Pancasila turut mengemuka dalam rapat ini. Prof. Burhanudin Abdullah menyoroti inkonsistensi pemerintah dalam kebijakan ekonomi yang cenderung pro-kapitalis.

Ia mengingatkan perlunya kejelasan mengenai siapa saja pelaku penggerak ekonomi Pancasila, apakah pemerintah, BUMN, koperasi, atau sektor lain.

Di sisi lain, Khairil, memberikan catatan agar naskah RUU ini tidak terjebak dalam sekadar “pelabelan Pancasila”. Menurutnya, Pancasila seharusnya menjadi nilai bersama yang hidup dalam praktik kebijakan, bukan sekadar slogan.

Ekonom muda Agus Rizal menambahkan bahwa dalam hakikat ekonomi Pancasila terkandung konsep “midwife state”, yaitu negara hadir sebagai pelindung yang membangun tatanan sosial dalam berekonomi.

Menuju Ekonomi Pancasila

Diskusi yang berlangsung hampir setengah hari ini mencerminkan keseriusan para peserta dalam merumuskan arah baru ekonomi nasional. Semua sepakat bahwa Indonesia membutuhkan regulasi ekonomi yang kuat, berpijak pada UUD 1945, serta berlandaskan nilai-nilai Pancasila.

RUU Perekonomian Nasional 2025 adalah sebuah ikhtiar untuk memastikan ekonomi Indonesia ke arah yang baru yang Pancasilais. Arah baru ekonomi yang ditempuh melalui nasionalisasi, restrukturalisasi, redistribusi, rekapitalisasi, reindustrialisasi. Peta jalan inilah yang akan membawa kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Rapat ditutup dengan kesepakatan untuk menyempurnakan draft RUU Perekonomian Nasional berdasarkan masukan yang telah disampaikan. Harapannya, regulasi ini kelak dapat menjadi fondasi sistem ekonomi yang lebih berkeadilan, mandiri, dan sesuai dengan cita-cita kemerdekaan bangsa.

Exit mobile version