Membangun Wacana Kritis:
Kompas Vs Benteng
Proteksionis (Penolakan Total): Dimana pendekatan ini membangun benteng budaya dengan pelarangan konten asing secara kaku.Ia gagal melihat bahwa isolasi justru memperkuat saya tarik globalisasi secara diam-diam dan mengabaikan akar masalah (seperti kesenjangan ekonomi, ketidakadilan hukum) yang membuat masyarakat rentan terhadap pengaruh asing.
Pendekatan Wacana Kritis: Pendekatan ini menggunakan agama dan kearifan lokal sebagai lensa anlitis, untuk menyeleksi mengadaptasi dan menegosiasikan nilai global secara aktif. Ia mengakui dinamika kekuasaan (Powe relationship) dalam budaya global tetapi percaya pada kapasitas subjek lokal untuk melakukan counter-hegemony.
Asimilatif (Penerimaan Pasif)
Model ini menyerap nilai-nilai tanpa filter, menganggap kemodernan identik dengan Barat. Ia menjadikan agama dan kearifan lokal sebagai ornamen yang kehilangan fungsi kritisnya, sehingga mempercepat erosi identitas dan memperkuat hegemoni budaya pasar.
Agama Sebagai Pisau Analisis
Saleh secara ritual, cerdas secara etis
Adl (Islam), Dharma (Hindu), Dikaiosine (Kristen), Yi (Konghucu), Dhamma (Budha).
Keadilan lintas agama menempatkan perlindungan dan martabat kaum rentan sebagai tolok ukur etis untuk menilai praktik sosial dan ekonomi.
Qana’ah (kecukupan), Penata layanan (Pengelolaan bijak), Aparigraha (tidak melekat)
Nilai kesederhanaan lintas agama mendorong prioritas hidup bermartabat dan kontribusi sosial diatas pamer materi.
Tabayun (klarifikasi), Dia krisis (Pembedaan roh), Viveka (Kebijaksanaan), Sama Ditti (Pandangan Benar), Zi (Kebijaksanaan)
Nilai kebijaksanaan lintas agama mengajarkan kemampuan membedakan kebenaran, memeriksa kepentingan dan menimbang dampak sebelum bertindak.
Jakarta Sebagai Kota Global
Kearifan Lokal Sebagai Obat Kota
Kota global adalah pusat strategis bagi ekonomi dunia, tempat konsentrasi kekuatan finansial, jasa dan arus informasi.
Dinamika kota yang kompetitif dapat menciptakan ketimpangan tajam antara para pemenang dan mereka yang kalah.
Skenario terburuk bagi budaya lokal adalah komodifikasi budaya sebagai simbol (wisata), atau tergusurnya kampung-kampung Betawi ke pinggiran. Keduanya menghilangkan jiwa kritis dan keatifan lokal itu sendiri.
Kearifan Betawi perlu direvitalisasi sebagai praktik keseharian dan pandangan hidup yang adaptif, bukan sekedar nostalgia atau komoditas wisata.