Oleh : Sahrul Anwar (Mahasiswa Pascasarjana Prodi Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung)
SUKABUMI, Mediakarya – Makan Bergizi Gratis (MBG) sebagai salah satu program strategis nasional sebagai wujud komitmen negara untuk memastikan tidak ada anak yang kelaparan atau gizi buruk (Stunting) demi terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas dalam menyongsong Indonesia emas 2045 telah menjadi sorotan diseluruh penjuru negeri.
Dalam pelaksanaan Makan Bergizi Gratis (MBG) ini menjadi peluang menggerakkan ekonomi lokal—petani, nelayan, bisa menjadi aktor utama dalam menyokong kebutuhan pangan di setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Akan tetapi jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi tantangan, bahkan ancaman, seperti krisis pangan.
Bagaimana strategi yang dapat dilakukan untuk meningkatkan ketersediaan pangan dan menjawab tantangan akan krisis pangan yang potensial dalam Program Makan Bergizi Gratis (MBG), dengan mempertimbangan tinjauan sosiologis?
Multiplier Effect Program Makan Bergizi Gratis
Makan Bergizi Gratis (MBG) merupakan program strategis nasional yang digalakkan pemerintah lewat Badan Gizi Nasional ialah sebagai bentuk jawaban atas persoalan gizi buruk di Indonesia. Dalam Perpres No. 83 Tahun 2025 (JDIH BPK RI, 2024) Tentang Badan Gizi Nasional dibentuk guna mempersiapkan sumberdaya manusia yang berkualitas—juga untuk memenuhi kebutuhan gizi bagi anak balita, anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui.
Anak balita, anak sekolah, ibu hamil dan ibu menyusui—selanjutnya disebut sebagai penerima manfaat dihimpun oleh dapur makan bergizi gratis—disebut sebagai Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dengan 3000-3500 penerima manfaat per satu SPPG. Kita bisa mengkontekstualisasikan realitas ini dan kaitannya dengan persoalan pangan. Jika 1 Kg ayam itu 10 potong itu artinya harus ada 350 Kg ayam setiap hari untuk mencukupi kebutuhan 1 SPPG. Jika 1 sisir pisang ada 15 buah dan 1 tandan pisang meliputi 10 sisir, maka setiap hari harus ada sekitar 20-24 tandan pisang untuk mencukupi kebutuhan 1 SPPG.
Dirilis dari laman Badan Gizi Nasional, per tanggal 21 Oktober 2025, sudah ada 11.592 SPPG yang sudah beroperasi diseluruh Indonesia (Badan Gizi Nasional, 2025) . Jika kita tarik korelasinya dengan bahasan diatas. Dibutuhkan berapa ribu ton ayam jika seluruh SPPG dalam satu hari yang sama memakai menu ayam dalam merealisasikan makan bergizi gratisnya hanya dalam satu hari? Dibutuhkan berapa ratus ribu tandan pisang jika seluruh SPPG memakai buah pisang hanya dengan satu hari? Dibutuhkan berapa ton ikan dan sayuran jika seluruh SPPG dalam satu hari yang sama memakai menu yang sama dalam satu hari? Tentu jika kebutuhan atau permintaan pasar meningkat produksinya pun harusnya meningkat dan dari sisi pemasok barang pun ia menyerap tenaga kerja yang lebih banyak lagi.
Hal tersebut baru soal pangan, multiplier effect makan bergizi gratis (MBG) berkaitan dengan sumberdaya manusia dalam hal ini ialah relawan yang bekerja di SPPG. Jika 1 SPPG mempekerjakan sekitar 47 orang berarti sudah berapa ratus ribu orang yang bekerja di SPPG guna suksesi program makan bergizi gratis? Berapa puluh ribu orang pengangguran yang terserap kinerjanya dan berapa puluh ribu orang ibu-ibu yang bisa diberdayakan? Kita bisa bayangkan ibu-ibu bekerja tidak hanya untuk mencukupi kebutuhan hidupnya tapi juga membantu ekonomi keluarganya.
Kita bisa bayangkan beberapa pemuda di desa sangat antusias dengan adanya program makan bergizi gratis karena dia bisa berdaya dan bekerja untuk diri dan keluarganya. Tepat pada titik inilah bahwa kemudian program makan bergizi gratis bukan soal pengentasan gizi buruk (stunting) tapi ada efek domino secara sosio-ekonomi yang amat sangat luar biasa dan dirasakan sampai ke rakyat menengah ke bawah.
Ketahanan Pangan, Tantangan, dan Resolusi
Ketahanan pangan merupakan konsep yang sangat penting dalam konteks program makan bergizi gratis (MBG) di Indonesia. Dalam hal ini, negara harus intervensi untuk memastikan pangan tersebar merata secara kualitas dan kuantitas. Namun untuk mencapai ketahanan pangan ini dibutuhkan upaya yang serius dan terintegrasi dalam meningkatkan produksi dan distribusi pangan. Karena jika tidak dikelola dengan baik program makan bergizi gratis (MBG) dalam kaitannya dengan ketahana pangan akan menjadi tantangan dan ancaman yang sangat serius diantaranya:
1. Keterbatasan sumber daya pangan lokal
Seperti yang penulis dicontohkan diatas jika tidak diatur, diintervensi, dan dikelola dengan baik, bukan suatu hal yang mustahil kelangkaan atau krisis pangan atau lonjakan harga terjadi dan itu mengganggu stabilitas sosio-ekonomi.
