Pantaskah Koruptor Dimaafkan?

Ilustrasi (Foto: Istimewa)

Oleh Agus Wahid

Belum lama ini Presiden Prabowo Subianto melontarkan gagasan  memaafkan koruptor. Sebuah ide yang mengundang tanya lebih jauh. Begitu agungkah jiwa kenegarawanan seorang Prabowo sehingga harus memaafkan siapapun yang berdosa besar terhadap bangsa dan negara?

Tidak terpikirkah, makhluk korupsi yang terbangun telah mengakibatkan rakyat ini menjadi sengsara, bahkan telah berandil besar pada kerusakan dan kehancuran negeri ini? Lalu, di mana letak empatinya terhadap para korban penderita selama ini? Sebegitu sempitnya cara pandang guna menyelesaikan krisis ekonomi nasional?

Yusril Ihza Mahendra (YIM) selalu Menko Bidang Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan menilai positif gagasan junjungannya. Dapat dimaklum. Sebagai pembantunya, memang harus memperkuat opini yang dicetuskan his boss. Di mata YIM, pemaafan terhadap koruptor yang harus disertai dengan pengembalian uang atau aset kepada negara merupakan strategi pemulihan kerugian negara (asset recovery). Ditegaskan lagi, ide pemaafan koruptor sejalan dengan United Nation Convention Against Corruption (UNCAC).

Landasan formilnya is okay. Tapi, gagasan dan atau opini penguatan YIM jelaslah mengabaikan nurani kerakyatan dan kenegaraan yang selama ini dirugikan secara meteriil dan imateriil. Tak bisa dipungkiri, kebertahanan makhluk kemiskinan di negeri ini hingga saat ini, bukan semata-mata faktor rendahnya kualitas sumber daya insani kita. Jangan salahkan bunda mengandung. Tapi, tataplah kebijakan yang – secara sistematis dan terencana – telah membangkrutkan keuangan negara.

Dalam kaitan itu, kita tak bisa melupakan perampokan uang negara oleh kalangan sipit yang kita kenal dengan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kebijakan yang awalnya untuk menyehatkan 48 bank sakit demi pulihnya sistem perekonomian nasional pada akhir Orde Baru itu, justru sekitar Rp 630 triliun BLBI yang digelontorkan itu dibawa kabur oleh para obligor. Kita juga tak lupa perampokan dana BNI sebesar Rp 1,7 triliun oleh Edy Tanzil yang hingga kini benar-benar menguap. Sisi lain, meski tak terlalu besar, tak bisa dilupakan juga dana yang dirampok dari Bank Century sebesar Rp 689,39 miliar. Dan perampokan ini jelas-jelas melibatkan pejabat negara. Roby Tantular sebagai Dirut Bank Century saat itu hanyalah korban eksploitasi pejabat negara tersebut yang tersistem itu.

Sementara, rezim Jokowi lebih dahsyat lagi merekayasa keuangan negara dengan skema utang luar negeri: mencapai Rp 8.461 triliun. Atas nama proyek-proyek mercusuar seperti kereta cepat Jakarta-Bandung, percepatan pembangunan jalan-jalan tol di berbagai sentra, dan tak bisa dilupakan proyek ambisius Ibu Kota Nusantara, serta politik cawe-cawenya demi memenangkan Gibran dalam kontestasi pilpres lalu. Semua itu menelan biaya yang fantastik dan bersumber dari keuangan negara.

Dari sisi kebijakan, rezim-rezim berkuasa masa lalu telah merampas hak-hak kesejahteraan rakyat. Tragisnya lagi, demikian banyak oknum dari pejabat negara, pejabat publik bahkan anasir swasta ikut menikmati dana yang dihamburkan itu, padahal melawan prinsip hukum. Terjadi abuse of power dalam pencairan keuangan negara.

Muncul renungan, para bandit yang bercokol sebagai penyelenggara negara dan para pihak mitra yang sengaja mengeksploitasi kerakusan para bandit berdasi, apakah mereka layak dimaafkan? Sungguh miris dan tidak manusiawi. Inilah persoalan jeritan nurani yang tak dibaca dengan rasa empati oleh Prabowo dan YIM.

Data menunjukan, persekongkolan para bandit pemerintah dan partikelir itu tidak hanya membobol keuangan negara, tapi telah menghancurkan sistem keuangan nasional. Persekongkolan mereka berhasil menghadirkan sistem ekonomi rente (kapitalistik dan kartelisme untuk berbagai komoditas). Hal ini sulit disangkal dampak negatifnya: membuat perkembangan ekonomi kerakyatan selalu tersendat. Terseok-seok, bahkan harus mati suri.

Yang tak bisa dimaklumi adalah persekongkolan antarbandit yang berbaju rezim dan swasta telah menggiring eksplorasi wilayah secara eksploitatif. Di sana kita saksikan, perambahan hutan untuk industrial estate dan penambangan, yang hasilnya diekstraksikan ke Cina. Terjadilah capital outflow yang sulit dilacak, karena demikian besarnya dan disembunyikan data aslinya. Dapat dipahami tiadanya data jelas itu. Karena terjadi kongkalikong pencurian raksasa. Dan itu, tak mungkin terjadi jika tanpa campur orang terkuat di negeri ini.

Menurut peneliti dan ekonomi senior  Almarhum Faisal Basri, mekanisme ekspor bahan mentah seperti nikel dan lainnya memang sengaja digelapkan. Pantaslah, Faisal Basri dan peniliti dan ekonom senior lainnya (Rizal Ramli) yang banyak menyoroti ekspor gelap itu disikat dari muka bumi.

Kini, yang sedang ramai adalah dampak dari persekongkolan para bandit itu bermunculan “negara dalam negara” seperti PIK 1 dan PIK 2. Senada dengan irama desain negara dalam negara adalah rencana pembangunan kawasan wisata Rempang. Sebuah rencana pembangunan kawasan wisata yang telah menelan ratusan korban penghuni wilayah. Nasib yang sama juga dialami masyarakat Banten (terkait PIK 2) dan masyarakat nelayan tradisional di sekitar Jakarta Utara (kasus PIK 1).

Aneh bin ajaibnya, keberadaan dua kawasan PIK itu dijaga ketat oleh aparat TNI-Polti. Dan dilarang keras bagi warga selain penduduknya untuk melintasi atau menyambangi di antara dua kawasan itu. Sayangnya era Rezim (Jokowi dan Prabowo) cenderung pasif dalam menyikapi permasalahan tersebut.

Sekali lagi, panorama persekongkolan pejabat negara dengan para bandit swasta telah merampas hak-hak dasar hidup rakyat. Kerugian rakyat bukan hanya anggaran keuangan negara yang dialokasikan untuk sejumlah proyek strategis versi mereka, tapi tingkat korupsi struktural yang merajalela. Karena itu, sungguh tidak rasional gagasan pemaafan terhadap para koruptor itu.

Jika arahnya untuk menyehatkan keuangan negara, mengapa tidak mendesak UU Perampasan Aset Koruptor. Perlu kita garisbawahi, entitas para koruptor itu siapapun yang berbuat dan telah mengakibatkan kerugian negara. Maka, target koruptor adalah para pihak (pemerintah dan swasta) yang berbuat kejahatan terhadap keuangan negara, sekecil apapun nilainya. Sikap mengejar para koruptor memang sedang giat dilakukan. Tapi, terkesan kuat untuk penjahat kelas teri, seperti para kepala desa.

The last but not least, buang jauh ide pemaafan terhadap koruptor yang sungguh melukai perasaan rakyat. Paradoks dengan tekad ingin bahagiakan rakyat. Jika ide itu tetap dirumuskan menjadi kebijakan, itulah potret Prabowo, yang sejatinya bersahabat dengan kaum koruptor, terutama kelas kakap. Atau, dirinya menyadari, dalam dirinya dan keluarganya ikut menikmati aliran dana negara secara melawan hukum. Sebenarnya, publik tidak sulit untuk menebak arah di balik ide itu.

Please, hentikan gaya politik kamuflatif atas nama rakyat dan atau negara. Jangan lanjutkan ”tradisi” politik membual yang telah ditorehkan Jokowi. “Barang bekas” tak perlu diwariskan, apalagi sangat tidak bermutu.

Penulis: Analis Politik dan Kebijakan Publik

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *