KOTA BEKASI, Mediakarya – Operasi tangkap tangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang, sepertinya membuat pejabat di Kota Bekasi tidak enak tidur.
Hal itu menyusul viralnya foto spanduk bertuliskan “#Jaga Wali Kota Bekasi Tolak KPK obok-obok Kota Bekasi” terpampang di sudut jalan Kota Bekasi, yang tersebar di media sosial.
Pengamat pokitik dari Etos Indonesia Institute, Iskandarsyah mengatakan jika ada pejabat di Kota Bekasi terkait dengan adanya informasi bahwa KPK bakal menyasar pejabat Kota Bekasi, merupakan kehawatiran yang wajar. Mengingat Kota dan Kabupaten Bekasi merupakan dua kepala daerah dari partai yang sama yakni PDI Perjuangan.
Iskandar berpandangan, spanduk bertuliskan penolakan terhadap KPK di Kota Bekasi merupakan bentuk perlawanan terhadap penegakan hukum. Sebab posisi PDIP di pemerintahan pusat bukan lagi sebagai rezim berkuasa, terlebih partai berlambang banteng moncong putih itu saat ini lebih memilih menjadi oposisi pemerintahan Prabowo-Gibran.
“Saat rezim PDIP berkuasa, banyak kepala daerah di luar kolisinya jadi sasaran penegak hukum. Nah saat ini rezim berkuasanya adalah Prabowo-Gubran, sementara PDIP sendiri sudah menyatakan lebih memilih di luar pemerintahan. Maka konsekuensinya kepala daerah dari politisi yang di luar pemerintahan Prabowo diprediksi bakal jadi sasaran penegak hukum,” ujar Iskandar kepada Mediakarya melalui telepon celularnya, Ahad (21/12/2015).
Dalam konteks pemerintahan Kota Bekasi, Iskandar menilai bahwa Wali Kota Tri Adhianto yang juga merupakan Ketua DPC PDIP diduga bukan orang yang bersih-bersih amat dari persoalan korupsi.
Justru sebaliknya, berdasarkan informasi yqng didapat, bahwa laporan kasus korupsi yang diduga melibatkan Wali Kota Bekasi dan keluarganya sudalah masuk ke KPK dan Kejaksaan Agung. Sehingga proses penegakan hukumnya dimungkinkan tinggal menunggu momentum yang pas.
“Saya melihatnya penegakan hukum seringkali dipersepsikan sebagai alat balas dendam politik atau kekuasaan karena adanya politisasi. Dan pola ini juga sudah terbangun di saat Demokrat bekuasa kemudian digantikan oleh PDIP dan saat ini giliran Gerindra berkuasa. Siapapun rezimnya biasanya politisi dari partai oposisi kerap jadi sasaran aparat penegak hukum,” kata Iskandar.
Persoalan itu dipicu karena ada intervensi, dan aparat yang tidak profesional, yang menyebabkan ketidakadilan dan merusak kepercayaan publik. Alih-alih berfokus pada keadilan substantif berdasarkan hukum murni dan terlepas dari kepentingan politik untuk membalas musuh atau menguntungkan kawan.
Namun demkian, bagi kepala daerah yang memiliki integritas, meski adanya intervensi dari penegak hukum, sepanjang yang bersangkutan bersih dari korupsi maka kepala daerah tersebut dipastikan tidak akan gentar.
“Yang melakukan perlawanan dengan menyebarkan sepanduk penolakan terhadap KPK boleh jadi kepala daerahnya tidak bersih. Kalau bersih kenapa risih. Toh banyak kepala.daerah yang bolak balik diperiksa KPK tapi karena tidak terbukti bersalah mereka lolos juga. Soal Wali Kota Bekasi tinggal publik saja yang menilai,” tegas Iskandar.
Lanjut Iskandar, kasus hukum besar seringkali menjadi “sandera politik”, di mana penegakan hukum dipolitisasi untuk menargetkan lawan politik.
Jadi wajar jika saat ini banyak politisi kutu loncat. Utamanya bagaimana mengamankan dirinya dari jerat hukum. Siapa rezimnya politisi kutu loncat itu dengan mudah berpindah partai.
“Pertanyaannya, apakah kepala daerah di Kota Bekasi demikian. Hari ini politisi itu di PDIP, boleh jadi kedepannya lompat pagar ke Gerindra. Politisi pragmatis seperti ini sangat berbahaya. Karena tidak memiliki ideologi partai,” pungkasnya. (Dra)




