BANDUNG, Mediakarya – Praktik pengabaian hak kompensasi bagi pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan pekerja outsourcing (alih daya) kian marak dan disoroti sebagai pelanggaran hukum ketenagakerjaan yang disengaja.
Perusahaan alih daya maupun perusahaan pengguna jasa (user) dinilai sengaja menciptakan ruang abu-abu untuk melarikan diri dari kewajiban yang diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021.
Terkait dengan permasalahan tersebut, Ketua Umum DPP LSM Pemuda Mandiri Peduli Rakyat Indonesia (PMPRI), Rohimat meminta perusahaan untuk patuh pada aturan hukum yang sudah sangat jelas.
“Kami menemukan pola yang terus berulang di banyak kawasan industri: kontrak PKWT habis, tapi uang kompensasi yang merupakan hak dasar pekerja tidak dibayarkan. Dalih yang dipakai selalu sama, ‘karena kamu outsourcing, kompensasi tidak berlaku’,” tegas pria yang akrab disapa Kang Joker ini dalam keterangannya kepada Mediakarya di Jakarta, Ahad (23/11/2025).
Kang Joker menegaskan bahwa alasan tersebut adalah bentuk pengabaian hukum secara sadar dan menyesatkan para pekerja.
Kewajiban Mutlak Berdasarkan PP 35 Tahun 2021
Menurutnya, aturan hukum telah terang benderang. PP 35 Tahun 2021 tentang PKWT, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja secara eksplisit mengatur kewajiban kompensasi.
“Pasal 15 sampai Pasal 17 PP 35/2021 jelas menyatakan bahwa kompensasi wajib dibayarkan saat hubungan kerja PKWT berakhir. Dan perlu digarisbawahi, kewajiban ini termasuk bagi pekerja yang bekerja melalui skema outsourcing,” jelas jelasnya.
Ia juga menekankan bahwa perusahaan alih daya tidak boleh melempar tanggung jawab ke perusahaan user, dan sebaliknya. Sesuai PP tersebut, tanggung jawab pembayaran kompensasi kepada pekerja PKWT yang disalurkan melalui alih daya sepenuhnya berada di pundak perusahaan alih daya.
“Status alih daya bukan tameng. Bukan pengecualian. Itu adalah perintah undang-undang, dan perusahaan yang tidak melaksanakannya sedang melakukan pelanggaran,” kata Kang Joker.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan adanya pola baru yang digunakan perusahaan untuk menahan hak pekerja, yaitu dengan menunda atau menghilangkan pembayaran saat terjadi perpanjangan kontrak.
“Perusahaan berkilah kompensasi akan digabung dan dibayar setelah kontrak terakhir selesai. Ini bukan sekadar waktu yang ditunda, ini adalah hak yang dihilangkan. Aturannya jelas, kompensasi wajib dibayar tuntas saat berakhirnya setiap periode PKWT, barulah masuk ke perpanjangan kontrak berikutnya,” ujarnya.
Dia menambahkan, pembayaran kompensasi tidak boleh ditahan, digabung, atau dinegosiasikan. Perhitungan kompensasi dihitung secara proporsional berdasarkan masa kerja, bahkan untuk masa kerja minimal satu bulan secara terus-menerus.
Menutup pernyataannya, dia pun menyerukan kepada seluruh pekerja PKWT dan outsourcing untuk berani menuntut hak-haknya.
“Kami sampaikan dengan tegas, kompensasi bukan hadiah. Itu adalah martabat pekerja dan wibawa hukum ketenagakerjaan. Pengetahuan adalah benteng terakhir pekerja. Tanpa pemahaman aturan, pekerja akan selalu menjadi pihak yang dikalahkan,” pungkasnya.
Ia mendorong pekerja yang merasa haknya dilanggar untuk berani melaporkan perusahaan alih daya yang melanggar ketentuan hukum. (Asp)
