Pelajaran Mahal Pengalihan Anggaran Penyaluran  ke Penyerapan Beras

Pengamat ekonomi dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori

Oleh: Khudori

TERDAPAT pembelajaran penting dan mahal dari pengalihan anggaran perberasan tahun ini: anggaran penyaluran beras di hilir dialihkan untuk penyerapan beras di hulu. Pengalihan itu membuat penugasan BULOG untuk menyerap gabah/beras produksi petani sebesar 3 juta ton bisa dijalankan relatif baik, bahkan telah memecahkan rekor stok beras terbesar sepanjang sejarah. Akan tetapi, tanpa banyak disadari, pengalihan anggaran itu membuat beras menumpuk di gudang karena tidak ada kepastian penyaluran.

Seperti diulas dalam analisis “Alternatif Pengendalian Harga Beras”, 29 Agustus 2025, stok beras di gudang BULOG amat besar. Saat ini cadangan beras pemerintah (CBP) itu sekitar 3,9 juta ton. Jika target penyaluran SPHP 1,3 juta ton dari Juli-Desember 2025 tercapai dan 366 ribu ton bantuan pangan beras tersalurkan semua, stok beras akhir tahun BULOG masih sebesar 2,684 juta ton. Ini jumlah yang amat besar.

Rentang 2014-2024, stok beras akhir tahun BULOG tidak pernah ada yang mencapai sebesar itu. Selama 11 tahun itu stok beras akhir tahun BULOG terbesar terjadi di 2018: 2.028.850 ton. Saat itu stok beras akhir tahun besar karena ada ‘kesalahan’ dalam impor beras yang mencapai 1,778 juta ton. Impor yang dipaksakan itu membuat beras impor relatif tidak ada gunanya. Justru beras impor menjadi masalah di tahun berikutnya hingga berujung kontroversi disposal sekitar 20 ribu ton CBP.

Bagi BULOG, stok beras akhir tahun yang besar akan menimbulkan konsekuensi tidak mudah. Selain ada risiko turun volume, beras juga berpotensi turun mutu dan bahkan rusak. Risiko ini muncul karena dari 3,9 juta ton yang ada di gudang BULOG saat ini ada ratusan ribu ton beras berusia lebih setahun. Sebagian besar sisa impor 2024. Bisakah dipastikan beras ‘berusia tua’ itu tersalurkan semua di tahun ini jika penyaluran kecil? Jika beras ‘tua’ tidak tersalurkan semua tahun ini, usianya akan bertambah di awal tahun depan. Bagaimana kualitas beras itu nantinya?

Lalu, beras penyerapan dari gabah segala kualitas (any quality) di tahun ini hampir bisa dipastikan kualitasnya tidak bagus. Beras seperti ini tidak mungkin disimpan berlama-lama. Dihadapkan pada pilihan tidak mudah seperti ini, prinsip FIFO (firt in first out) tidak bisa diterapkan secara kaku. Bisa jadi beras yang belum berusia empat bulan harus disalurkan terlebih dahulu karena ada risiko turun mutu dan rusak. Kalau penyaluran beras hingga akhir tahun kecil, risiko besar menumpuk di awal 2026.

Bagi masyarakat, stok beras yang hanya ditumpuk di gudang BULOG itu membuat harga beras di pasar tidak terkendali. Tanda-tanda kenaikan harga beras muncul di April 2025, dampak dari kenaikan harga pembelian pemerintah (HPP) gabah dari Rp6.000/kg menjadi Rp6.500/kg di tingkat petani. Harga terus naik di Mei, Juni, Juli, dan Agustus. Intervensi baru dilakukan pertengahan Juli lalu. Sudah terlambat. Selama tujuh dari delapan bulan, dari Januari-Agustus 2025, beras jadi penyumbang inflasi.

Intervensi dilakukan dengan menyalurkan beras SPHP (Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan) melalui operasi pasar. Juga menyalurkan bantuan pangan beras 10 kg per bulan kepada 18,3 juta keluarga pada Juli-Agustus 2025. Ketika harga sudah naik tinggi intervensi tidak selalu manjur. Apalagi kalau jumlah beras operasi pasar yang dialirkan ke pasar masih terbatas dan belum menjangkau wilayah luas seperti saat ini. Terbukti harga beras, medium dan premium, di atas harga eceran tertinggi (HET).

Saat ini, aliran beras dari penggilingan ke pasar jumlahnya menurun. Hal serupa terjadi pada pedagang beras. Penurunan aliran beras produksi penggilingan ke pasar juga terekam dalam survei Ombudsman RI terhadap 88 penggilingan di 23 provinsi pada 18-30 Agustus yang dirilis 3 September lalu. Penurunan produksi itu akibat langsung dari penurunan pembelian gabah oleh penggilingan. Ini bisa dimaklumi. Selain harga tinggi, gabah di pasar terbatas. Gabah yang terbatas itu diperebutkan banyak pihak.

Sebagai gambaran, produksi beras Januari-Agustus dikurangi konsumsi pada periode yang sama diperkirakan ada surplus 4,3 juta ton beras. Dari jumlah ini, hampir 3 juta ton diserap BULOG. Sisanya sebesar 1,3 juta ton diperebutkan ratusan ribu penggilingan dan pedagang. Kalau diubah dalam bentuk gabah, jumlahnya kira-kira dua kalinya, yaitu 2,6 juta ton gabah. Apakah jumlah gabah ini termasuk besar? Tidak.

Dari sini tampak ketika BULOG sebagai pembeli awal, sebagai konsekuensi memenuhi target penyerapan 3 juta ton beras, terjadi penyedotan gabah/beras besar-besaran di pasar. Terjadi migrasi stok yang biasanya ada di masyarakat beralih ke BULOG. Inilah yang membuat penyerapan BULOG di Mei 2025 mencapai 2,276 juta ton beras. Ditambah stok akhir tahun, tercipta stok terbesar sepanjang sejarah: 4 juta ton beras.

Pada September dan Oktober 2025 diperkirakan ada surplus 0,53 juta ton dan 0,09 juta ton beras. Pada November dan Desember, mengikuti pola berpuluh tahun lalu, selalu defisit. Tiga tahun terakhir defisit November 0,69 juta ton dan Desember 1,43 juta ton beras. Defisit ini harus ditutup dari stok yang ada. Masalahnya, kalau stok di penggilingan dan pedagang tipis, penutupan defisit sepenuhnya bergantung pada stok BULOG. Kalau aliran stok beras di BULOG ke pasar tidak deras seperti saat ini, pada titik tertentu bisa terjadi kelangkaan. Ini bisa mengguncang politik nasional.

Ini adalah salah satu pelajaran penting dan mahal dari pengalihan anggaran penyaluran kemudian diubah buat penyerapan/pengadaan. Dana yang dianggarkan Badan Pangan Nasional (Bapanas) mencapai Rp16,6 triliun. Itu sudah direncakan akhir 2024. Anggaran ini untuk operasi pasar SPHP dan bantuan pangan beras 10 kg per bulan untuk 16 juta keluarga. Bantuan pangan rencananya dikucurkan selama 6 bulan.

Dalam rapat koordinasi terbatas ketahanan pangan bersama Presiden Prabowo Subianto, 26 November 2024, diputuskan penyaluran bantuan pangan dan SPHP pada Januari-Februari 2025. Ini karena Januari-Februari 2025 musim packelik. SPHP ditargetkan 150 ribu ton per bulan. SPHP sempat disalurkan Januari hingga pekan pertama Februari 2025. Jumlahnya 181.173 ton. Bantuan pangan beras belum sempat disalurkan.

Tiba-tiba, melalui rakortas pula, penyaluran SPHP dan bantuan pangan distop. Alasannya produksi melimpah. BULOG harus mengamankan agar petani tak merugi. Padahal merujuk data BPS, produksi dikurangi konsumsi di Januari dan Februari masing-masing defisit 1,33 juta ton dan 0,31 juta ton beras. Anggaran penyaluran di hilir digeser untuk penyerapan tanpa anggaran pengganti. Ketiadaan anggaran pengganti inilah yang membuat intervensi pasar terlambat dilakukan ketika harga beras di pasar tinggi.

Bagi BULOG, hemat saya, pengalihan anggaran ini lebih banyak mudarat ketimbang manfaat. Sebab, selama ini BULOG hampir tidak pernah kesulitan memenuhi kebutuhan anggaran untuk penyerapan gabah/beras petani. Pada 2023-2024 pembiayaan penyerapan cadangan pangan pemerintah (CPP) bersumber dari pinjaman bank-bank milik negara dengan subsidi bunga. Ini diatur di Peraturan Menteri Keuangan Nomor 153 Tahun 2022 tentang Tata Cara Pemberian Subsidi Bunga Pinjaman dalam Rangka Pengadaan CPP.

Sebelum itu, BULOG menggunakan kredit bank berbunga komersial. Dengan sistem pascabayar, yakni bekerja dulu kemudian dibayar oleh pemerintah setelah proses audit, BULOG tidak kesulitan mengakses pendanaan. Toh anggaran Rp16,6 triliun dari Kementerian Keuangan itu juga tidak bebas bunga. Dengan menunjuk BULOG sebagai
Operator Investasi Pemerintah (OIP), seperti tertuang di Surat Menteri Keuangan Nomor S-38/MK.5/2025, nantinya BULOG harus mengembalikan pinjaman itu dan bunganya. Bedanya, lewat skema OIP bunganya lebih rendah ketimbang kredit komersial.

Lagi pula, anggaran Rp16,6 triliun itu hanya setara 1,3 hingga 1,4 juta ton beras. Artinya, penyerapan sisanya (1,6 – 1,7 juta ton dari target 3 juta ton beras) masih harus menggunakan kredit bank berbunga komersial. Masalahnya, ketika anggaran penyaluran tidak disiapkan penggantinya BULOG akan dihadapkan pada ketidakpastian: bagaimana nasib CBP? Mau dialirkan ke mana beras itu. BULOG tidak bisa sembarangan mengeluarkan. Sebagai operator, pengeluaran harus atas perintah regulator: Bapanas.

Pada titik ini, salah satu yang alpa dikalkulasi ketika mengalihkan anggaran penyaluran ke penyerapan adalah pemanfaatan CBP tidak pasti: disalurkan untuk apa, kapan disalurkan, dan berapa banyak? Ketidakpastian penyaluran ini yang antara lain membuat Ombudsman memperkirakan ada potensi kerugian negara Rp7 triliun akibat tata kelola CBP. Padahal, Bapanas sudah jauh-jauh merencanakan dengan baik penyaluran di hilir. Ketika perencanaan diinterupsi di tengah jalan, karut marut pun terjadi. Apakah otoritas yang menginterupsi ini bisa dituntut karena merugikan negara?

Pelajaran penting lainnya adalah penyerapan dan penyaluran beras itu satu nafas. Tidak bisa diputus salah satunya. Ini didasari oleh kenyataan bahwa beras adalah barang tidak tahan lama. Agar tidak mengendap lama, beras yang diserap harus disalurkan secara rutin dan terus-menerus. Supaya prinsip “masuk pertama keluar pertama” bisa dilakukan dengan baik. Dalam bahasa akademik ini disebut stok dinamis (dynamic stock). Stok dinamis bisa dipraktikan jika ada kepastian penyaluran.

Apa ada solusi agar stok beras akhir tahun BULOG tidak besar di saat anggaran belum ada? Bisa saja anggaran untuk subsidi penyaluran yang belum ada tahun ini dibayarkan tahun depan. Ini harus diputuskan di rakortas bersama Presiden. Mekanisme seperti ini bukan hal baru bagi BULOG. Waktu krisis 1997/1998 pemerintah berhutang pada BULOG triliunan rupiah. Rakor bidang ekonomi dan industri, yang disetujui Presiden, menetapkan pelunasan tahun 2000. Pertanyaannya, apakah anggaran tahun 2026 memadai?

Penulis: (Pengurus Pusat PERHEPI, Komite Ketahanan Pangan INKINDO, dan Pegiat AEPI)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *