Pemkot Bekasi Dituding Terapkan Standar Ganda Dalam Proses Penggusuran PKL Kalimalang

Puing bekasi PKL Kalimalang yang menjadi korban penggusuran Pemkot Bekasi.

KOTA BEKASI, Mediakarya – Penggusuran sering kali menjadi salah satu opsi yang digunakan oleh pemerintah atau otoritas setempat, dengan alasan “penertiban”.

Kondisi itu seperti halnya dialalami sejumlah pedagang pedagang kaki lima (PKL) di Kalimalang Kota Bekasi, yang beberapa bulan lalu menjadi korban penggusuran.

Mereka mengeluhkan penggusuran secara sepihak oleh Pemkot Bekasi tanpa solusi konkret, apalagi relokasi yang layak.

“Kami digusur atas nama penataan kota, tapi caranya tidak manusiawi. Tidak ada relokasi, tidak ada solusi. Kami kehilangan tempat usaha dan mata pencaharian. Kami seperti dibiarkan mati pelan-pelan,” ujar Levri, salah satu PKL di Kalimalang, kepada wartawan di Kota Bekasi, Sabtu (27/12/2025).

Menurutnya, dalih penataan kota yang digunakan pemerintah saat menggusur pedagang kecil kini terbukti tidak konsisten.

Pasalnya, di kawasan Kalimalang yang sama, sebelumnya disebut melanggar aturan dan merusak estetika, justru kini berdiri bangunan dan aktivitas usaha yang difasilitasi pemerintah kota, bahkan menggunakan kontainer.

“Dulu kami dituding merusak tata kota. Sekarang pemerintah sendiri membangun dan melegalkan tempat usaha di atas Kalimalang. Di mana logika dan keadilannya?” tegasnya.

Levri menilai kebijakan Wali Kota Bekasi sangat paradoks. Di mana pedagang kecil digusur tanpa ampun, sementara kepentingan tertentu justru diberi ruang dan perlindungan.

“Kalau hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas, itu bukan penataan kota. Itu penindasan,” katanya.

Ia menuturkan, kebijakan Wali kota mencerminkan kegagalan kepemimpinan dalam memahami aspek kemanusiaan dan keadilan sosial. Padahal, pedagang kecil selama ini menjadi bagian penting dari denyut ekonomi rakyat.

Untuk itu, Levri bersama pedagang lainnya mendesak Wali Kota Bekasi Tri Adhianto untuk bersikap adil dan bertanggung jawab sebagai pemimpin daerah.

“Kalau kami dulu digusur, berikan relokasi yang layak. Sediakan tempat usaha untuk kami. Jangan hanya pandai menertibkan rakyat kecil,” ujarnya.

Lebih lanjut, apabila tuntutan tersebut tidak direspons, para pedagang Kalimalang siap melakukan aksi sebagai bentuk perlawanan terhadap kebijakan yang mereka anggap tidak adil,” pungkasnya.

Perlu Adanya Kesadaran Kolektif

Menanggapi kebijakan Pemkot Bekasi dalam menertibkan PKL yang dituding paradoks tersebut, praktisi hukum Suherman Nasution, S.H,M.H, menilai dengan dalih apapun, menata kembali suatu kawasan, atau memanfaatkan lahan untuk proyek pembangunan publik harus dilakukan dengan cara-cara yang bijak.

Jika penggusuran dengan cara tersebut dipaksakan seringkali menuai kontroversi. Karena menyebabkan hilangnya mata pencaharian, dan jaringan sosial yang telah dibangun puluhan tahun oleh warga setempat.

Menurutnya, penggusuran yang tidak manusiawi atau tanpa solusi yang adil dan transparan sering kali dianggap melanggar hak asasi warga untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak.

“Warga dari kalangan ekonomi lemah sering kali menjadi korban utama dari penggusuran, sementara penertiban di area permukiman elite jarang terjadi,” ungkap Herman kepada Mediakarya, Ahad (28/12/2025).

Meskipun memiliki landasan hukum, proses penggusuran sering kali diwarnai oleh soal ganti rugi yang tidak memadai, atau kurangnya sosialisasi yang cukup.

Kendati demikian, Herman mengimbau kedua belah pihak, baik Pemkot Bekasi maupun warga korban penggusuran agar duduk bersama mencari solusi yang terbaik.

“Pemkot Bekasi tentunya memiliki program bagaimana menata kawasan agar lebih baik. Namun demikian, penataan ruang publik juga harus dilakukan dengan cara-cara yang humanis,” tuturnya. (Supri)

Exit mobile version