JAKARTA, Mediakarya – Rektor Universitas Jayabaya Prof. DR. Amir Santoso. menilai bahwa demokrasi di Indonesia kerap disalahpahami. Bahkan sejumlah kalangam mengira semakin banyak partai politik, kian sehat demokrasi. Padahal yang terjadi justru sebaliknya, demokrasi makin ramai, namun negara makin sulit diurus.
“Puluhan partai politik berdesakan di panggung kekuasaan. Mereka berteriak soal rakyat, tetapi sibuk bernegosiasi soal kursi. Mereka bicara ideologi, tetapi berbaris rapi saat pembagian jabatan. Inilah paradoks demokrasi Indonesia: terlalu banyak partai, terlalu sedikit kepemimpinan,” ungkap Prof Amir dalam keterangan tertulisnya yang diterima Mediakarya, Selasa (16/12//2025).
Amir mengaku prihatin dengan sistim demokrasi saat ini. Di mana presiden yang dipilih langsung oleh rakyat, namun pada realitanya sering “disandera” parlemen. Untuk sekadar menjalankan program, pemerintah harus memelihara koalisi gemuk yang rapuh dan penuh ancaman.
“Sedikit berbeda sikap, koalisi bisa pecah. Sedikit berani tegas, dukungan bisa ditarik,” kata Amir.
Jauh sebelum reformasi, Presiden Soekarno pernah mengingatkan bahaya multi partai. Menurutnya, partai-partai yang terlalu banyak hanya akan menanam benih perpecahan dan menghambat kerja negara.
“Hari ini, peringatan itu terasa nyata. Negara berjalan tertatih karena energi elite habis untuk menjaga koalisi, bukan melayani rakyat,” ungkapnya.
Politik Tanpa Ideologi, Kekuasaan Tanpa Malu
“Mari jujur, sebagian besar partai di Indonesia nyaris tak bisa dibedakan kecuali dari logo dan tokohnya. Ideologi hanya jargon kampanye. Setelah pemilu usai, yang tersisa adalah politik dagang sapi,” imbuh Amir.
Sedangkan Mantan Wakil Presiden Muhammad Hatta pernah menegaskan bahwa demokrasi akan mati bila partai politik kehilangan moral dan menjadikan kekuasaan sebagai tujuan.
Ketika partai lebih sibuk menghitung jatah menteri daripada memperjuangkan kebijakan publik, demokrasi berubah menjadi pasar kekuasaan. Rakyat hanya penonton lima tahunan.
Perpecahan Dipelihara, Bukan Disembuhkan
Lebih lanjut, sistem multi partai ekstrem berpotensi menciptakan kompetisi tanpa batas. Demi suara, semua cara sah. Seperti memainkan isu agama, identitas, bahkan kebencian. Media sosial berubah menjadi arena propaganda, hoaks, dan adu domba.
“Ironisnya, konflik ini tidak pernah benar-benar diselesaikan karena perpecahan adalah bahan bakar elektoral,” ucapnya.
Selain itu, kata dia, BJ Habibie pernah mengingatkan bahwa bangsa ini tidak akan hancur oleh musuh dari luar, tetapi oleh konflik internal yang dibiarkan. Namun justru konflik internal itu terus dirawat oleh elite politik yang hidup dari polarisasi.
Parlemen: Terlalu Ramai untuk Bekerja
Dia pun menilai bahwa dengan terlalu banyak fraksi, DPR berubah menjadi ruang debat tanpa akhir. Satu undang-undang bisa tersandera bertahun-tahun.
“Pada gilirannyq, kepentingan rakyat kalah oleh kepentingan partai. Negara kalah cepat dari masalah. Di era krisis global, negara yang lamban adalah negara yang kalah,” katanya.
“Ini bukan seruan membunuh demokrasi. Justru sebaliknya. Demokrasi yang sehat butuh penyederhanaan, bukan kebablasan. Banyak negara demokrasi maju justru stabil dengan sedikit partai kuat yang jelas ideologinya dan bertanggung jawab pada publik,” tambah Amir.
Amir juga menyebutkan bahwa sebelumnya Presiden pertama RI Soekarno pernah memgungkapkan bahwa demokrasi bukan soal suara terbanyak, tetapi keberanian mengambil keputusan untuk kepentingan rakyat.
“Pertanyaannya sekarang, apakah sistem multi partai kita masih melayani rakyat, atau hanya melayani elite,?
Amir berpandangan bahwa Indonesia saat ini tidak kekurangan partai. Namun bangsa kekurangan ketegasan sistem. “Jika kita terus membiarkan demokrasi menjadi arena rebutan kekuasaan, jangan heran bila rakyat makin apatis dan negara makin lemah,” ujarnya.
Penyederhanaan partai bukan kemunduran demokrasi. Justru itu langkah penyelamatan. Karena demokrasi yang terlalu ramai bisa berubah menjadi kekacauan yang sah secara konstitusional.
“Sejarah mengajarkan satu hal pahit,
negara jarang runtuh karena kurang kebebasan, tetapi sering hancur karena kebebasan tanpa kendali,” pungkasnya. (Hb)
