Politik Ekonomi RI: Rakyat Jadi Korban  Kapitalisme dan Neoliberalisme

Sekjen Lembaga Pengawas Kinerja Aparatur Negara (LPKAN) Abdul Rasyid.
  1. Kapitalisme Negara Orde Baru menghasilkan pertumbuhan ekonomi tinggi (rata-rata >7% pada 1980-an), tetapi distribusi kekayaan sangat timpang. Konglomerasi yang dekat dengan kekuasaan menikmati rente ekonomi, sementara rakyat kecil tetap bergantung pada subsidi harga pokok.
  2. Populisme Fiskal memberi ruang redistribusi lebih luas, seperti subsidi BBM, BLT, dan program bantuan sosial. Namun sifatnya jangka pendek sehingga gagal menciptakan keadilan struktural.
  3. Neoliberalisme Teknokratis menekan subsidi dengan alasan disiplin fiskal. Hal ini menekan defisit, tetapi juga membebani kelas menengah ke bawah, memperbesar kesenjangan sosial-ekonomi.

Ketiga model belum berhasil secara berkelanjutan menurunkan ketimpangan, meski dengan pendekatan berbeda.

Kedaulatan Ekonomi

  1. Kapitalisme Negara mempertahankan kedaulatan melalui BUMN dan kontrol negara atas SDA. Namun, ketergantungan pada utang luar negeri membuat Indonesia rapuh saat krisis 1997/1998.
  2. Populisme Fiskal memperkuat legitimasi domestik, tetapi tetap mengandalkan dana pinjaman luar negeri dan bantuan lembaga internasional (IMF, Bank Dunia).
  3. Neoliberalisme Teknokratis meningkatkan integrasi pasar global, menarik investasi asing, dan menjaga rating utang. Namun, ini memperlemah otonomi negara dalam menentukan arah kebijakan, karena sangat dipengaruhi ekspektasi pasar internasional.

Semua fase memperlihatkan ketergantungan struktural pada kapital global, dengan hanya beda variasi cara dalam pengelolaannya.

Stabilitas Politik dan Legitimasi

Exit mobile version