Oleh: Agus Wahid
Kok ga malu ya? Itulah pertanyaan publik ketika menyaksikan Ahmad Syaichu (calon gubernur Jawa Barat) menyambangi Anies Baswedan di kediamannya. Publik mempertanyakan dengan nada penuh heran, karena tahu persis tujuan di balik kunjungannya. Yaitu, minta dukungan Anies. Agar, dirinya bersama calon wakil gubernurnya (Ilham Habibie) berhasil memenangkan kontestasi pilkada Jawa Barat 2029.
Dapat dipahami logika kunjungan politik Ahmad Syaichu-Ilham Habibie (ASIH) itu. Dalam jumpa pers secara terbuka Syaichu menyampaikan, simpatisan masyarakat Jawa Barat terhadap Anies Baswedan sangatlah besar.
Terekam jelas data faktual dalam pilpres 2024 lalu, terutama di Jawa Barat. Maka, jika Anies mengarahkan mereka ke pasangan ASIH insya Allah akan memenangkan pilkada Jabar. Karena itu, dengan rona wajah yang malu-malu dan memelas, Syaichu dalam jumpa pers itu berharap arahan politik Anies terhadap seluruh simpatisannya di Jawa Barat. Tentu, agar dirinya bisa meraih kursi Gubernur – Wakil Gubernur Jawa Barat.
Sangatlah tepat kalkulasi politik Syaichu. Namun, kalkulasi politiknya menunjukkan egoismenya, sekaligus hilang nuansa kepekaan pribadinya. Dirinya seperti tak pernah berbuat “dosa” terhadap Anies, minimal pernah menyakitinya. Memang, Syaichu bukanlah seorang diri yang berbuat dosa. Tapi, sebagai Presiden PKS, ia bertanggung jawab terhadap keputusan politik DPP PKS yang akhirnya melukai martabat Anies dalam pilkada Jakarta tahun ini.
Apapun responnya, Anies berhak kecewa. Manusiawi. Dan “masyarakat Abah” jauh lebih berhak kecewa. Kekecewaan itu bukanlah persoalan individual, tapi masyarakat dalam jumlah besar merasa hak-hak politiknya, bahkan hak-hak hidup ke depannya dihempaskan secara tidak beretika.
Apakah rekam jejak DPP PKS itu mudah terhapus dari ingatan Anies dan seluruh pendukungnya, meski sebatas Jawa Barat? No. Fakta psikologis bicara. Raut muka Anies saat jumpa pers tampak datar. Tak terlihat energi sumringah, meski menerima kunjungan Syaichu dengan penuh santun. Kesantunan Anies memang, itulah kepribadiannya.
Meski demikian, ketidaksumringahan Anies sesungguhnya bisa dibaca dengan jernih. Anies tak memberikan dukungan, meski menyerahkan sepenuhnya kepada para pemilih pilkada Jabar. Rona Anies yang “dingin” ini pun bisa ditangkap oleh seluruh pendukung Anies. Berpijak pada penodaan PKS terhadap Anies saat proses menuju Jakarta kembali, mereka berhak mempertahankan kekecewaan politiknya. Dan rasa ini akan diartikulasikan secara politik: no way for pasangan calon yang berunsur PKS.
Itulah sikap politik yang harusnya dibaca sejak dini secara reflektif. Karena, pasti terjadi Anies effect yang cenderung kontraproduktif pasca PKS meninggalkan Gubernur DKI periode 2017 – 2022 itu. Efek negatif itu tidak hanya menerpa Presiden PKS di pilkada Jawa Barat, tapi seluruh daerah yang calon-calonnya dari dan atau diusung PKS. Let`s see the fact. Kultur masyarakat Indonesia ini melo terhadap tindakan penzaliman. Cenderung berpihak kepada pihak yang terzalimi. Kultur inilah yang ikut menentukan hasil yang tidak diharapkan para kader PKS dan atau yang diusungnya saat maju pilkada.
Bagaimana dengan hasil-hasil survey yang tidak berbanding lurus dengan kultur itu? Performa survey bisa diolah sedemikian rupa, apalagi lembaga-lembaga yang terkenal sebagai “survei”. Siapa yang membayar, maka posisinya akan selalu dimenangkan. Ranking teratas. Berpotensi menang dalam pilkada. Dan satu lagi, ketika cawe-cawe penguasa ikut bermain lagi seperti pada pilpres kemarin, maka kultur melo pun akan terhempas.
Maka, posisi tidak berbanding lurus itu sesungguhnya tidak mencerminkan realitas obyektif. Karena memang terdapat gerakan sistematis memanipulasi. Inilah problem besar demokrasi di Tanah Air. Sebuah problem politik warisan Jokowi. Sangat jahat, tapi dipertahankan. Super aneh. Itulah gambaran mentalitas para pengkhianat demokrasi dari anasir elitis kita. Rela menghancurkan kepentingan bangsa dan negara.
Kembali ke “laptop”, apakah misi kunjungan (muhibbah) ASIH ke Anies akan berhasil? Sekali lagi, membaca rona wajah Anies dan pernyataan politiknya sama sekali tidak mengarahkan seluruh “anak abah” di Jabar untuk pilih ASIH. Sikap politik yang sama juga ditunjukkan ke arena pilkada Jakarta. Meski demikian, Anies dengan penuh sadar tak mau mendistorsi proses demokrasi. Karenanya, dirinya bersikap netral. Menyerahkan sepenuhnya kepada siapapun untuk menggunakan hak politiknya secara cerdas. Yang terpenting, harus mampu mencermati rekam jejaknya. Itulah faktor penting saat memilih.
Bagaimana dengan gerakan “coblos semua” (menjadi tidak sah)? Itu pun harus dihormati. Sikap politik itu merupakan refleksi ketidaksetujuannya terhadap dinamika politik yang sangat tricky dan tidak demokratis. Tidaklah bijak menyalahkan para pihak yang menggunakan hak politiknya secara paradoks dengan ketentuan UU Politik. Justru, paradoksaltas itu harus menjadi kajian serius bagi partai-partai politik: untuk tidak mengulangi perilaku sadistik itu.
Akhirnya, kita dan seluruh anak abah bisa mencatat, kunjungan Syaichu ke Anies sesungguhnya menunjukkan politik “muka tembok”. Tak punya rasa malu. Egois. Hanya untuk memuaskan kepentingan politik sempitnya, bisa senyum-senyum, seolah tak pernah menyakiti seseorang dan seluruh elemen pendukungnya. Hebat tenan. Kok bisa? Ya, itulah politisi hubbud dunya, yang cenderung mengabaikan moralitas dan etika. Problem mendasar perilaku elitis partai-partai politik di Tanah Air ini. Akibat dari sekulerisme politik yang memandemik secara global.
Penulis: Analis Politik