JAKARTA, Mediakarya – Analis kebijakan publik dari Institute for Public Policy Studies (IPPS) Indonesia, Yusuf Blegur, menilai dibalik kesengsaraan dan penderitaan kehidupan rakyat serta kerusakan alam yang terjadi di Aceh, Sumatra Barat dan Sumatra Utara, ada kesenangan dan pesta-pora para penguasa.
Dia juga menilai watak kolonialisme dan imperialisme di era saat ini masih nyata. Meski tidak datang dari yang hidup di masa lampau yang berbuat kerusakan, dan juga tidak datang atas nama sekumpulan orang-orang berseragam militer yang fasis, yang mengobarkan perang dan kehancuran dunia.
“Tapi mereka ini adalah sekelompok manusia yang ada dan berkembang dalam kemajuan zaman. Memiliki status sosial dan jabatan mentereng, berdasi dan dihormati. Dengan gaji besar dan fasilitas fantastis, mereka menjalankan gaya hidup mewah dan penuh “previllage” yang dibiayai dari uang rakyat, dari keringat dan kesulitan rakyat,” ungkap Yusup kepada Mediakarya di Jakarta, Kamis (11/12/2025).
Menurut Yusuf, kelompok ini merupakan pejabat yang berkolaborasi dengan oligarki hidup di alam kemerdekaan yang memperlakukan rakyat sebagai orang jajahan. Bertindak bagai raja dan memperlakukan rakyat seperti budak.
“Pajak pengganti upeti, hukum yang membela penguasa apapun salahnya serta pelbagai perampasan aset rakyat dengan beragam dalih dan pembenaran,” tegas Yusuf.
Dikatakannya, kelompok tersebut tidak sekedar berlimpah kekayaan dan kewenangan luas, mereka juga menghiasi kekuasaannya dengan perangai anti kritik, arogan dan represif. Memunculkan sifat dan gaya kepemimpinan yang rakus pada harta sekaligus keji dan haus darah.
“Mereka semua berwujud pejabat hipokrit yang ada di lingkungan partai politik, DPR/MPR, TN-Polri, kementerian, Kejaksaan dan Kehakiman, MA, KPK, KPU, MK dan semua pemangku kepentingan publik. Sebagian besar dari mereka merupakan sejatinya para pelacur dan penjahat,” kritik Yusuf.
Yusuf mengatakan, kelompok tersebut telah membuat catatan kelam yang tragis dalam kehidupan bernegara, cukup hanya dengan satu dekade. Kerusakan dan kehancurannya melebihi dari akibat penjajahan ratusan tahun yang dialami bangsa ini dari kolonialisme dan imperialisme lama. Mereka itulah yang sekarang menjelma menjadi pemerintah atau penguasa kalau tidak mau disebut reinkarnasi dari nekolim.
“Berderet tragedi KM 50 dan Kanjuruhan, kasus Rempang dan Wadas, sindikat Satgas Merah Putih dan skandal Sambo serta tak terhitung lagi kejahatan kekerasan fisik dan pembunuhan yang dilakukan secara terang-terangan dan tersembunyi di hadapan publik. Sementara, seiring itu korupsi merajalela dan pelakunya bebas berkeliaran serta masih bisa mendapat posisi mulia dan terhormat dalam pemerintahan,” beber Yusuf.
“Mereka punya segalanya, mengatur konstitusi dan mengelola demokrasi sesuai selera dan kepentingan mereka. Sistem nilai yang tetap saja berwatak kapitalistik, sebuah metode pemerintah yang sarat eksploitatif, manipulatif dan koruptif. Begitupun dengan semua institusi negara dan aparatnya, mudah dibeli dan diperintah sesukanya dengan uang dan jabatan,” imbuh dia.
Dari Dehumanisasi ke Deforestasi
Tak cukup memeras dan merampok uang rakyat, kelakuan pemerintah kini telah melampaui batas. Demi menumpuk pundi-pundi kekayaan dan selanjutnya melanggengkan kekuasaan. Pemerintah justru telah mengusik lingkungan. Bagian dari alam yang agung telah dilukai, bukan lagi pencemaran dan kerusakan lebih dari itu telah terjadi pembangkangan terhadap keberadaan Tuhan yang representasinya ada pada semesta.
“Hutan yang menjadi jantung dari peradaban manusia dan alam juga menjadi korban dari keserakahan segelintir orang. Kejahatan lingkungan yang terus difasilitasi pejabat negara, harus dibayar mahal. Alam bergejolak bukan karena amarah, namun karena ulah manusia yang tak ramah lingkungan, juga dzolim,” jelasnya.
Deforestasi telah menegaskan dan menguatkan pada apa yang terjadi yang disebut dengan “state organized crime”. Ramai-ramai dan berjamaah, birokrasi dan korporasi menjarah hutan demi syahwat materi dan kepuasan dunia yang ikut berkontribusi menghancurkan ekosistem dan habitat makhluk hidup.
Setelah rakyat yang terus-menerus menerima musibah dan bencana akibat ulah segelintir birokrasi dan korporasi hipokrit, tak ada satupun yang menyatakan bertanggungjawab. Alih-alih mengakui perbuatan dan kesalahan, mereka justru sibuk memainkan orkestrasi buang badan dan pembenaran. Dari buzzer hingga presiden, semua pemangku kepentingan publik terkait seperti buta tuli nurani, bahkan tak ubahnya lebih buruk dari hewan ternak.
“Hati mereka busuk, pikiran mereka licik, mulut mereka beracun. Itulah gambaran pemerintahan yang tak tahu berterimakasih dan membalas hutang budi pada rakyat. Rakyat yang memberi mereka mandat dari secarik kertas legalitas dan legitimasi kewenangan, diselewengkan dengan menumpuk kekayaan dan tindakan penindasan. Alam semesta yang ikut menjaga kehidupan mereka juga ikut menjadi korban,” katanya.
Apa yang terjadi pada kemudian hari, tiada yang tahu. Akankah musibah dan bencana itu akan terus datang?. Haruskah rakyat dan semesta alam yang menanggung dosa segelintir orang?. Jangan bertanya pada rumput yang bergoyang, mungkin sebaiknya minta penjelasan pada diri sendiri masing-masing. Apakah kita semua masih menjadi manusia dan berlaku adil pada semesta alam?.
“Rakyat seperti penonton yang harus membayar mahal demi menyaksikan sirkus pejabat penuh akrobatik. Tentunya sambil merasakan kehebatan pemerintahan yang penuh tipu daya terhadap rakyat dan makar pada semesta. Ya itulah bencana terbesar dan nyata, ketika rakyat disikat dan hutan dilumat, sungguh rezim laknat adanya,” tutup Yusuf. **
