Praktik Ijon Proyek Bukan Hanya di Kabupaten Bekasi, IPPS: Publik Tunggu Keseriusan KPK

Praktisi sekaligus akademisi hukum, Suherman Nasution, SH, MH

JAKARTA, Mediakarya – Analis hukum dari Institute for Public Policy Studies (IPPS) Indonesia, Suherman Nasution, SH, MH, menilai pelaksanaan pesta demokrasi akhir-akhir ini telah menciptakan fenomena maraknya praktik ijon politik.

Hal tersebut dikatakan Herman menanggapi maraknya operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap sejumlah kepala daerah. Di antaranya, Bupati Bekasi Ade Kuswara Kunang beserta ayahnya, Haji Kunang.

Dia menilai, OTT KPK terhadqp Bupati Bekasi terkait dengan dugaan gratifikasi atas proyek ijon, bukan merupakan peristiwa hukum yang mengejutkan.

Sebab kasus politik ijon maupun ijon proyek itu diduga terjadi di seluruh wilayah di Indonesia. Tak terkecuali di Kota Bekasi yang juga akhir-akhir ini menjadi sorotan sejumlah aktivis anti korupsi.

Publik pun kini menunggu keseriusan KPK dalam mengungkap peristiwa hukum yang diduga bakal menyeret sejumlah pejabat penting dilingkup pemerintahan Kota Bekasi.

Herman mengungkapkan, istilah ijon politik yang akrab di telinga masyarakat, merujuk pada praktik berkelindan antara korporasi (Investor politik) sebagai penyandang dana politik dalam rangka membiayai proses pencalonan kandidat dalam proses pemilihan kepala daerah.

Akibat tingginya biaya pilkada tersebut, kata Herman, tak jarang membuat para kandidat harus mencari sponsor untuk membiayai cost politiknya.

“Berdasarkan penelitian, praktik ijon politik justru menjadi cikal bakal demokrasi yang terdegradasi,” ungkap Herman kepada Mediakarya, Rabu (31/12/2025)

Lebih lanjut, ijon politik membuat demokrasi tidak lagi memberikan akses bagi setiap orang untuk secara bebas dan adil mengikuti kontestasi. Namun hanya diikuti oleh mereka yang memiliki modalitas ekonomi yang besar.

“Hal ini yang kemudian akan menciptakan kesempatan politik semakin tertutup. Akibatnya, rotasi kekuasaan hanya akan berputar pada lingkaran elit serta melahirkan sistem demokrasi yang kurang sehat,” ujar Herman.

Dia menilai kepala daerah yang dihasilkan dari praktik politik ijon memungkinkan kekuasaan tidak lagi melayani kepentingan masyarakat umum, namun hanya melayani kepentingan para penguasa.

Padahal, kata dia, dalam membangun iklim demokrasi yang sehat, salah satu syaratnya adalah adanya pergantian kepemimpinan politik dan terbukanya ruang dan akses yang sama.

Sementara, hubungan kepala daerah dengan Investor politik tersebut menurut dimungkinkan akan menciptakan pertukaran peran.

Keterlibatan korporasi dalam pendanaan pemilu di luar dana partai politik memiliki hubungan erat dengan pengelolaan sumber daya alam maupun janji proyek yang didanai oleh APBD.

Oleh karena itu, kerap kali pilkada dengan daerah yang memiliki pendapatan asli daerah (PAD) tinggi, dan proyeksi biaya pembangunan infrastrukturnya cukup besar, menjadi arena “pertempuran” antar investor politik.

“Tujuan keterlibatan investor ini berhubungan erat dengan jaminan politik dalam melanggengkan bisnis proyek,” kata Herman.

Untuk itu, lanjut dia, guna menghentikan praktik politik ijon memerlukan pendekatan komprehensif yang melibatkan aspek hukum, kelembagaan, dan partisipasi masyarakat. Politik ijon adalah praktik transaksional.

Di mana kandidat atau partai politik memberikan sesuatu, seperti uang atau janji proyek/kebijakan, kepada pemilih atau pemberi dana kampanye dengan harapan mendapatkan imbalan di masa depan, seperti suara atau kebijakan yang menguntungkan setelah terpilih.

Sanksi yang Berat

Memberlakukan sanksi pidana dan administratif yang tegas bagi pelaku politik ijon, baik pemberi maupun penerima, sesuai dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Pemilu.

“Kemudian, meningkatkan koordinasi, sinergi, dan kecepatan kerja antara Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan (Sentra Penegakan Hukum Terpadu) dalam mengusut tuntas kasus-kasus politik ijon,” ungkap Herman.

Selanjutnya, mendorong transparansi dan akuntabilitas penuh dalam pengelolaan dan pelaporan dana kampanye, serta melakukan audit yang ketat untuk mengidentifikasi aliran dana yang mencurigakan.  (Edr)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *