Radiasi Cesium-137 Bukti Kelalaian Sistemik 20 Tahun dan Momentum Menghukum Pihak Bertanggungjawab

Sekjen IAW Iskandar Sitorus (Foto: Medkar)

Oleh Iskandar Sitorus, Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW)

Negara terpapar, publik terancam, hukum tertunda

Fakta 22 perusahaan di Kawasan Industri Modern Cikande terpapar Cesium-137 adalah lonceng kematian yang selama ini ditunda bunyinya. Ini bukan hanya peristiwa teknis, ini adalah puncak dari 20 tahun pembiaran, lemahnya pengawasan limbah B3, dan mangkraknya sistem deteksi radiasi yang seharusnya melindungi negara.

IAW merumuskannya dengan pendek: “Bila radiasi Cs-137 bisa lolos masuk, maka yang bocor bukan hanya scrap, tetapi sistem negara.” Dan hari ini, Indonesia dipaksa menghadapinya.

Fakta baru 22 perusahaan tercemar, bahan radioaktif masuk tanpa deteksi

Kemenperin telah mengungkap 22 perusahaan yang terpapar Cs-137. Tidak hanya peleburan logam; pabrik pangan, minuman, pakan ternak, hingga perusahaan besar seperti Charoen Pokphand masuk daftar karena lokasinya berada dalam lingkar paparan Cs-137.

Laju dosis radiasi mencapai ratusan mikrosievert per jam, ini level yang dapat menyebabkan mutasi sel, kerusakan DNA, hingga kanker bila seseorang terpapar berulang.

Kawasan itu sempat diklaim “aman” setelah dekontaminasi. Tapi publik berhak bertanya, aman menurut siapa? Metode apa? Pengukuran berapa lama? Dan siapa yang mengaudit?

Yang paling memalukan adalah ternyata alat deteksi radiasi di pelabuhan dan kawasan ekspor-impor tidak berfungsi, persis seperti yang berkali-kali diperingatkan BPK.

Ini bukan kebetulan. Ini adalah hasil langsung dari ketidakpatuhan terhadap rekomendasi audit negara selama dua dekade.

Temuan BPK 20 tahun semua alarm sudah bunyi tetapi diabaikan

LHP BPK mencatat rangkaian “dosa negara” yang membawa Indonesia ke tragedi ini:

Fase 2005–2010, temuannya pengawasan limbah B3 kawasan industri lemah. Data pergerakan bahan berbahaya tidak valid. Ini status yang diabaikan.

2011–2015, sistem deteksi radiasi di pelabuhan rusak dan tidak diperbaiki. Alat tidak dikalibrasi. Status temuan tidak ditindaklanjuti.

Era 2016–2020, temuan database bahan radioaktif tidak terintegrasi. BAPETEN tidak memiliki sistem early warning. Status temuan pembiaran berlanjut.

2021–2023, koordinasi BAPETEN–KLHK–Bea Cukai kacau, tdak ada audit joint operation. Status, rekomendasinya kembali diabaikan.

IAW: “LHP BPK adalah peta jalan penyelamatan yang tidak pernah dibaca. Negara tahu risikonya, tetapi memilih mengabaikannya.”

Dasar hukum yang tegas jerat para pihak

1. UU 3/2009 tentang Lingkungan Hidup, di pasal 98, pidana 10 tahun + denda Rp10 miliar; Pasal 99 pidana 3 tahun untuk kelalaian dan pasal 116–118 terkait pertanggungjawaban pidana korporasi. 22 perusahaan + importir scrap + pengelola kawasan sangat mudah dijerat.

2. UU 10/1997 tentang Ketenaganukliran di pasal 42 disebut pidana 5 tahun untuk pengelolaan tanpa izin. Pasal 44 pidana untuk pembuangan/penghasil limbah radioaktif. Importir dan pabrik peleburan yang menjadi penyebar sumber radioaktif dalam scrap masuk kategori ini.

3. UU TIPIKOR (31/1999 jo. 20/2001) di pasal 3 mengatur penyalahgunaan wewenang dengan pidana 20 tahun. Ini menjerat: pejabat Bea Cukai yang membiarkan detektor mati; pejabat BAPETEN yang lalai; pejabat Kemenperin yang tetap izinkan operasi tanpa audit radiasi.

4. KUHP 359–360 tentang kelalaian menyebabkan luka, bahaya, atau kematian. Dengan 9 warga terpapar dan 30 keluarga harus direlokasi, unsur pasal terpenuhi.

Pihak yang harus dijerat berdasar fakta, regulasi dan LHP BPK

Kelompok A, pelaku usaha dijerat pidana korporasi, terdiri dari:

  1. Importir scrap metal terkontaminasi.
  2. 22 perusahaan terdampak yang lalai melakukan pengawasan radiasi.
  3. Pengelola Kawasan Industri Modern Cikande.
  4. Perusahaan pemilih scrap yang tidak melakukan screening.

Semua memenuhi pasal 98–99 UU LH dan pasal 42 UU Ketenaganukliran.

Kelompok B, pejabat negara yang lalai/membiarkan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *