JAKARTA, Media Karya – Perdebatan terkait seberapa besar pengaruh social-commerce dalam perjalanan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia makin santer. Berkembangnya isu sepinya transaksi di Tanah Abang sebagai salah satu pasar terbesar di Indonesia yang dipengaruhi keberadaan social-commerce. Benarkah?
Berusaha mendengarkan pendapat dari seluruh pihak terkait, baik dari pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pengamat, hingga pelaku usaha, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menggelar focus group discussion (FGD) dengan tema Pro dan Kontra S-Commerce pada Ekonomi Digital, di Jakarta, Senin (25/9/2023).
“Sebagai asosiasi, kami berusaha memfasilitasi komunikasi dan ruang untuk menyampaikan pendapat secara terbuka dan lengkap dari berbagai pihak seperti pemangku kebijakan, pelaku industri digital, pelaku usaha,” kata Wakil Ketua Umum idEA, Budi Primawan, saat membuka FGD tersebut.
“Sehingga seluruh peserta dapat mendengar dan memahami secara menyeluruh terkait isu social-commerce ini,” katanya lagi.
Sepak Terjang Social-Commerce Media dan banyak meja diskusi belakangan membahas dukungan dan keberatan terkait keberadaan social-commerce yang dinilai merugikan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Taburan aneka produk dengan harga sangat murah di social-commerce dituding menjadi penyebab sepinya penjualan produk lokal milik pengusaha UMKM.
Pengumpulan dan transfer data yang diduga terjadi dinilai menjadi salah satu penyebab tingginya penjualan di social-commerce. Hal ini disinyalir berujung pada berseliwerannya produk impor, baik legal maupun ilegal, dengan harga yang tidak masuk akal karena sangat murah.
Pengamat industri digital, Ignatius Untung menyatakan pro kontra sebenarnya tidaklah perlu. “Transfer data ini dilakukan semua platform digital untuk relevansi pencarian yang juga membantu konsumen,” tambahnya.