Sementara Kuasa Hukum PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line Gede Pasek Suardika mengatakan, putusan Majelis Hakim yang menunda putusan pada 18 November mendatang dihadapkan pada dua pilihan, yaitu menetapkan voting perdamaian atau pengakhiran PKPU yang artinya pailit.
“Tapi posisi ke arah pailit itu paling kuat karena Meratus di PKPU justru mempersulit cara pembayaran utangnya kepada kreditur pemohon PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line,” ucapnya.
Dalam proposal itu walau mengakui punya utang tetapi baru mau bayar kalau nanti di sengketa perdata ada putusan yang memutuskan dirinya untuk membayar utang. Meski hal ini ditolak Pemohon.
“Adanya kreditur afiliasi dengan PT Meratus juga menjadi bukti nyata persengkongkolan itu,” katanya.
Beda posisi dengan Bahana Line dan Bahana Ocean Line yang sama-sama berada di posisi kreditur. Sementara 8 kreditur yang dipermasalahkan itu kepemilikannya sama dengan Debitur PT Meratus Line.
“Jadi posisi Debitur dan Kreditur sama persis pemiliknya. Inilah persekongkolan dan bukti itikad buruknya karena targetnya hanya untuk mengejar hak suara voting,” ujarnya.
Sedangkan, Kuasa Hukum PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line Syaiful Ma’arif mengungkapkan, yang baru terlihat di ujung PKPU ini adalah kesadaran pengakuan akan utang PT Meratus Line dalam PKPU kepada PT Bahana Line dan PT Bahana Ocean Line.
“Padahal sebelumnya selalu berkilah dengan berbagai alasan. Di ujung baru mengakui, hanya saja tidak mau bayar dengan alasan masih ada kasus perdata. Padahal adanya kasus perdata itu juga ya ulahnya menjadi penggugat. Itu bukti nyata itikad buruknya. Saya yakin Hakim Pemutus bisa melihat fakta nyata ini,” imbuhnya.
Syaiful mengatakan, niat tidak mau bayar ke Pemohon PKPU tetap ada hanya dikemas bentuk lain. Inilah bukti petunjuk nyata itikad buruknya.