Vonis Tom Lembong: Kasus Gula yang Cacat Sejak Awal

Iskandar Sitorus. (Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Sekretaris Pendiri Indonesia Audit Watch (IAW) Iskandar Sitorus menilai vonis hukum terhadap Mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong sebagai cermin penegakan hukum di negeri ini jauh dari rasa keadilan.

Bagaimana tidak, kasus ini menggambarkan jika keadilan mengabaikan fakta dan hanya dipilih sepotong. Meski kerugian negara tak terbukti. Tapi pertanyaan yang lebih besar: mengapa hanya Tom Lembong yang menjadi korbannya.

Iskandar juga menilai vonis terhadap Tom Lembong merupakan pengadilan sesat dan merupakan bagian dari keraguan dalam audit.

Dimana pada 18 Juli 2025, mantan Mendag Thomas Lembong dijatuhi hukuman 4,5 tahun penjara. majelis hakim mendalilkan kasus tersebut merugikan negara dalam proses pemberian izin impor Gula Kristal Mentah (GKM) pada 2015–2016. Nilainya fantastis yakni Rp578 miliar. Tapi angka itu bukan dari BPK, melainkan dari BPKP.

“Padahal, BPK menyatakan tidak ada kerugian negara. Lebih parah, audit BPKP sendiri dinilai tidak akurat. Perbandingan yang digunakan adalah bea masuk GKM vs harga Gula Kristal Putih (GKP), dua jenis yang berbeda,” ungkap Iskandar kepada Mediakarya, Ahad (20/7/2025).

Menurut dia, audit tersebut tak memenuhi standar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016, yang mensyaratkan kerugian negara nyata, pasti, dan terukur.

Bahkan hakim pun menyatakan tidak ada niat jahat (mens rea) dari Lembong. “Tetapi toh hukuman tetap dijatuhkan. Dan publik pun bertanya, kalau memang ini soal kerugian negara dari impor gula, kenapa hanya satu periode yang disidik?,” tanya dia.

Dua Dekade Impor Gula Banyak Salah, Tapi Belum Disentuh

IAW mengungkap bahwa Indonesia bukan negara produsen gula utama. Sejak awal 2000-an, impor gula adalah rutinitas tahunan. Data resmi menunjukkan bahwa rata-rata 3,2 juta ton gula diimpor tiap tahun selama 2005–2024. Sementara, pada 2020, puncaknya tercatat 5,54 juta ton. Kemudian, di tahun 2024 pun tak kalah, ada 5 juta ton, melebihi kuota resmi 3,45 juta ton.

Anehnya, tidak ada satu pun periode lain yang disidik. Padahal indikasi pelanggaran berulang. Yaitu tahun 2005–2009 yaitu, kuota impor ditetapkan tapi dilanggar. Tidak ada proses hukum.

“Dan di tahun 2011–2014, impor naik tajam tanpa koordinasi. Sunyi dari penyidikan. Tahun 2017–2019, kuota dilabrak lagi, tetap lolos dari penuntutan. Parahnya lagi, di tahun 2020–2024 terdapat volume impor jauh di atas kuota, tapi semua tenang-tenang saja,” bener Iskandar.

Lebih lanjut, jika logika jaksa dan BPKP diterapkan ke seluruh periode, maka kerugian teoritis bisa mencapai Rp11,56 triliun.

“Bahkan kalau dikoreksi hanya 60% dari tahun yang bermasalah, tetap ada potensi kerugian negara Rp6,9 triliun. Tapi, anehnya, hanya 2015–2016 yang dijadikan tumbal hukum. Jadi sangat wajar jika publik bertanya,” katanya.

Keadilan Tidak Boleh Bersifat Temporal

Jadi, kata Iskandar, apa yang publik saksikan saat ini terkait dengan proses pengadilan terhadap Tom Lembong
merupakan politik hukum yang timpang.

“Penegakan hukum semestinya menyeluruh, tidak hanya “dipenggal” pada periode tertentu. Kalau hanya satu masa yang disorot, di mana prinsip equality before the law yang dijamin Pasal 27 UUD 1945,” ungkap dia.

Terkait dengan kasus hukum yang menimpa Tom Lembong, dia menilai penegak hukum tengah menciptakan praktik preseden buruk. Jadi seolah-olah pelanggaran yang lain bisa “lolos” asalkan tidak terjadi pada waktu yang salah.

“Kemudian, audit digunakan secara selektif, bahkan meski sudah dibantah lembaga audit negara resmi (BPK).
Dalam kasus Tom, penegakan hukum kehilangan martabatnya: bukan lagi soal keadilan, tapi soal siapa yang sedang apes,” tandas Iskandar.

Menanggapi vonis terhadap Tom Lembong, Indonesian Audit Watch memberikan rekomendasi:

Exit mobile version