Oleh: Danil Akbar (Peneliti Senior Nusantara Centre)
Sejarah konstitusi Indonesia tidak berhenti pada Proklamasi 1945. Ia bergerak, berubah, dan mengalami koreksi melalui serangkaian amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang berpuncak pada perubahan keempat tahun 2002. Amandemen ini bukan sekadar perubahan redaksional, melainkan pergeseran fundamental dalam konstruksi kedaulatan rakyat dan arsitektur ketatanegaraan Indonesia.
Sebelum amandemen, UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam konstruksi ini, MPR diposisikan sebagai lembaga tertinggi negara, penjelmaan kedaulatan rakyat sekaligus penentu arah dasar penyelenggaraan negara melalui Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Model ini sejalan dengan tafsir Pancasila yang menempatkan permusyawaratan sebagai prinsip utama demokrasi Indonesia.
Namun, melalui Amandemen UUD 1945 yang disahkan hingga tahun 2002, rumusan tersebut diubah secara mendasar. Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 kemudian menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Perubahan frasa ini mengandung konsekuensi konstitusional yang sangat besar. Kedaulatan rakyat tidak lagi dilembagakan secara tunggal melalui MPR, melainkan didistribusikan ke berbagai organ negara sesuai kewenangan konstitusionalnya masing-masing.
Perubahan ini mengakhiri posisi MPR sebagai lembaga tertinggi negara dan mengubahnya menjadi lembaga tinggi negara yang sejajar dengan lembaga negara lainnya. Secara struktural, hal ini dimaksudkan untuk mencegah pemusatan kekuasaan dan memperkuat prinsip checks and balances. Namun secara ideologis dan filosofis, perubahan ini juga menggeser cara bangsa Indonesia memahami dan mengoperasionalkan kedaulatan rakyat.
Dalam konstruksi lama, kedaulatan rakyat memiliki wajah institusional yang jelas: MPR sebagai penjelmaan kehendak rakyat secara kolektif. Dalam konstruksi pasca-amandemen, kedaulatan rakyat menjadi abstraksi normatif yang diwujudkan melalui mekanisme hukum, pemilu, dan pembagian kewenangan antar lembaga. Rakyat berdaulat, tetapi pelaksanaannya tersebar, tidak lagi terpusat dalam satu forum permusyawaratan nasional.
Perubahan ini berdampak langsung pada peta jalan konstitusi dan cita-cita nasional. Negara bergerak dari model demokrasi permusyawaratan yang berporos pada MPR menuju model demokrasi konstitusional – prosedural yang bertumpu pada pemilihan langsung, supremasi hukum, dan kompetisi kekuasaan. Arah ini membawa kemajuan dalam aspek kebebasan politik, tetapi sekaligus menimbulkan fragmentasi arah pembangunan nasional akibat hilangnya haluan negara yang mengikat.
Dalam perspektif Pancasila, khususnya sila keempat, perubahan ini menyisakan problem konseptual. Pancasila menekankan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Ketika MPR tidak lagi menjadi forum tertinggi permusyawaratan nasional, maka nilai permusyawaratan berisiko tereduksi menjadi sekadar prosedur elektoral, bukan proses kebijaksanaan kolektif bangsa.
Amandemen 2002 juga mengubah relasi antara kedaulatan rakyat dan kekuasaan eksekutif. Presiden tidak lagi dipilih oleh MPR, melainkan langsung oleh rakyat. Di satu sisi, hal ini memperkuat legitimasi demokratis Presiden. Namun di sisi lain, hubungan ideologis antara Presiden dan haluan negara menjadi longgar, karena tidak ada lagi garis besar kebijakan nasional yang dirumuskan secara kolektif oleh lembaga penjelmaan kedaulatan rakyat.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa amandemen UUD 1945 telah menggeser Indonesia dari negara kebangsaan berhaluan ideologis yang terpusat menuju negara hukum demokratis dengan orientasi kekuasaan prosedural.
Pergeseran ini bukan tanpa nilai, tetapi juga bukan tanpa risiko. Tanpa jangkar ideologis yang kuat, Pancasila berpotensi direduksi menjadi simbol normatif, bukan panduan operasional penyelenggaraan negara.
Membaca ulang perubahan konstitusi 2002 bukan berarti menolak demokrasi atau kembali ke masa lalu. Yang dibutuhkan adalah rekonstruksi pemahaman: bagaimana menempatkan kembali Pancasila sebagai dasar ideologis yang hidup, bagaimana memastikan kedaulatan rakyat tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermakna secara substantif, dan bagaimana mengisi kekosongan arah kebangsaan yang ditinggalkan oleh perubahan struktur MPR.
Sejarah konstitusi Indonesia mengajarkan bahwa hukum dasar bukan sekadar teks, melainkan cermin pilihan ideologis bangsa. Amandemen 2002 adalah pilihan sejarah. Tugas generasi kini adalah memastikan bahwa pilihan tersebut tetap setia pada cita-cita pendirian republik: kedaulatan rakyat yang berkeadilan, negara hukum yang bermoral Pancasila, dan persatuan nasional yang berorientasi pada keadilan sosial.
Dalam kondisi ini, praktik telah terjadi pembelokan dan penyimpangan terhadap nilai Pancasila sebagai azas kebangsaan yang juga ditempatkan sebagai ideologi negara secara konstitusional. Kerusakan konsepsi dasar bernegara tidak pernah hadir secara tiba-tiba. Ia lahir dari akumulasi keputusan politik, kompromi kekuasaan, dan perubahan konstitusional yang tidak sepenuhnya disadari oleh ketajaman pelaku melihat dampak jangka panjangnya.
Perubahan mendasar pasca-Amandemen UUD 1945 khususnya pergeseran pelaksanaan kedaulatan rakyat dari institusi penjelmaan kolektif menuju mekanisme prosedural semata telah melahirkan distorsi serius dalam praktik kekuasaan negara.
Ketika kedaulatan rakyat tidak lagi memiliki rumah institusional yang jelas, kekuasaan kehilangan jangkar ideologisnya. Negara tetap berjalan, pemilu tetap diselenggarakan, hukum tetap diproduksi, tetapi arah kebangsaan menjadi cair dan mudah disandera oleh kepentingan jangka pendek. Inilah kondisi yang membuka ruang bagi penyimpangan kekuasaan yang berlangsung tanpa kendali substantif.
Dalam situasi ini, hukum kerap direduksi menjadi alat legalisasi kekuasaan, bukan instrumen pengendali kekuasaan. Demokrasi berubah menjadi kompetisi elektoral tanpa kebijaksanaan kolektif. Lembaga-lembaga negara berjalan sesuai kewenangannya masing-masing, tetapi kehilangan kesatuan visi kebangsaan. Negara tampak sibuk mengatur, namun gagal memimpin.
Penyimpangan kekuasaan yang terjadi hari ini, mulai dari pelemahan etika konstitusi, ekspansi kewenangan aparatur, pembentukan regulasi sektoral yang melampaui batas, hingga tumpulnya kontrol terhadap kekuasaan, bukanlah anomali, melainkan gejala dari rusaknya konstruksi dasar bernegara. Ketika Pancasila tidak lagi menjadi pedoman operasional, dan UUD 1945 dibaca semata sebagai teks hukum, maka kekuasaan bergerak tanpa orientasi moral dan ideologis.
Inilah yang patut disebut sebagai kecelakaan sejarah konstitusional. Bukan karena niat jahat para perumus perubahan, melainkan karena kegagalan melihat implikasi jangka panjang terhadap bangunan negara kebangsaan. Kecelakaan ini tidak boleh dinormalisasi. Ia harus dievaluasi, dievakuasi, dan dikoreksi secara menyeluruh.
Evakuasi yang dimaksud bukanlah pembongkaran negara, melainkan pemulihan kesadaran konstitusional. Bangsa ini memiliki kewajiban sejarah untuk mengembalikan konsepsi dasar bernegara pada kemurnian operasionalnya sendiri: kedaulatan rakyat yang tidak hanya sah secara prosedural, tetapi juga bermakna secara substantif; kekuasaan yang dibatasi, diarahkan, dan diawasi oleh nilai Pancasila; serta negara yang memiliki haluan ideologis yang jelas.
Mengembalikan kemurnian tersebut berarti menempatkan kembali Pancasila bukan sekadar sebagai sumber dari segala sumber hukum, tetapi sebagai panduan hidup bernegara. Sila keempat tidak boleh direduksi menjadi mekanisme suara terbanyak. Ia harus dihidupkan kembali sebagai prinsip permusyawaratan kebangsaan yang melahirkan kebijaksanaan kolektif. Kedaulatan rakyat tidak cukup diwujudkan melalui bilik suara, tetapi harus terinstitusionalisasi dalam arah pembangunan nasional yang konsisten dan berjangka panjang.
Kewajiban sejarah ini juga menuntut keberanian politik dan kejernihan intelektual. Bangsa yang besar bukan bangsa yang menolak koreksi, melainkan bangsa yang berani membaca ulang jalannya sendiri. Mengakui adanya kecelakaan konstitusional bukan berarti menolak reformasi, tetapi justru menyelamatkan reformasi dari penyimpangan arah.
Jika koreksi ini tidak dilakukan, negara akan terus bergerak dalam paradoks: kuat secara administratif, tetapi rapuh secara ideologis; demokratis secara prosedural, tetapi kosong secara substansial; sah secara hukum, tetapi kehilangan legitimasi moral. Sebaliknya, dengan mengembalikan konsepsi dasar bernegara pada ruh Pancasila dan cita-cita pendirian Republik, Indonesia dapat kembali menemukan arah kebangsaannya.
Dalam hal ini Sejarah memberi mandat, bukan pilihan, bahwa mengembalikan kemurnian konsepsi dasar bernegara adalah kewajiban konstitusional sekaligus tanggung jawab moral kepada sejarah. Jika tidak dilakukan hari ini, beban itu akan diwariskan kepada generasi berikutnya dalam kondisi yang lebih berat dan lebih rumit.
