Haidar Alwi: Membaca Jebakan Politik dari Wacana Darurat Militer hingga Reformasi Polri

Pendiri Haidar Alwi Institute (HAI), R Haidar Alwi (Ist)

JAKARTA, Mediakarya – Pendiri Haidar Alwi Care dan Haidar Alwi Institute, R. Haidar Alwi, menilai bahwa dua isu yang sempat mengguncang publik, darurat militer dan reformasi Polri, tidak bisa dibaca sebagai peristiwa terpisah. Menurut Haidar Alwi, keduanya merupakan ujian kecerdasan bangsa dalam menjaga keseimbangan antara hukum, kekuasaan, dan persepsi. Indonesia bukan sedang menghadapi krisis kekuasaan, melainkan ujian rasionalitas di tengah badai opini.

“Jebakan politik tidak selalu datang dengan wajah keras. Ia sering dibungkus dengan kata-kata moral, dihias dengan istilah reformasi, dan disebarkan melalui opini yang tampak suci. Namun tujuannya satu: menggiring negara agar bereaksi sebelum berpikir. Bila pemimpin terjebak, maka keputusan yang mestinya lahir dari nalar berubah menjadi reaksi emosional yang merugikan negara,” kata Haidar Alwi dalam keterangan tertulisnya, Senin (6/10/2025).

Setelah gelombang demonstrasi akhir Agustus 2025, sebagian pihak mendorong penerapan darurat militer. Situasi itu menciptakan ketegangan politik dan potensi salah langkah. Presiden Prabowo Subianto tidak terburu-buru. Ia memanggil Panglima TNI, Kepala lembaga keamanan, dan sejumlah menteri untuk memeriksa fakta lapangan. Keputusan akhirnya jelas: Indonesia tetap di bawah kendali sipil sebagaimana diatur Pasal 12 UUD 1945 dan Perppu No. 23 Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya.

“Sejarah menunjukkan, banyak pemimpin jatuh bukan karena kekurangan dukungan, tetapi karena tergoda mengambil keputusan saat pikirannya digiring ketakutan. Prabowo memilih jalan konstitusi, bukan jalan panik. Itulah bedanya pemimpin yang mencari stabilitas dengan pemimpin yang mencari pembenaran,” tegas Haidar Alwi.

Langkah itu dinilai menegaskan kedewasaan politik Prabowo. Ia menjaga ketertiban nasional tanpa menabrak hukum dan menutup ruang bagi pihak-pihak yang ingin menjadikan krisis sebagai panggung politik.

Wacana Reformasi Polri dan Bahaya Manipulasi Persepsi

Beberapa pekan setelah isu darurat militer mereda, muncul seruan reformasi Polri. Sekilas tampak luhur, tetapi Haidar Alwi menilai pola kemunculannya serupa, dorongan moral yang berpotensi menjadi tekanan politik.

“Reformasi sejati lahir dari rancangan dan kesadaran institusional, bukan dari desakan publik yang emosional. Bila kata reformasi dipakai untuk menggiring pemerintah, maka maknanya bergeser menjadi alat delegitimasi. Padahal tujuan reformasi adalah memperkuat, bukan mengguncang,” jelas Haidar Alwi.

Menjawab isu itu, Presiden Prabowo membentuk Komite Reformasi Kepolisian Nasional dengan masa kerja enam bulan untuk menata kebijakan kelembagaan Polri. Di sisi lain, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sudah lebih dulu membentuk Tim Transformasi dan Akselerasi Reformasi Polri guna memperbaiki pelayanan publik, etika, dan pengawasan internal. Kedua langkah ini membuktikan bahwa pemerintah menempuh jalur rasional, bukan reaktif.

“Ketika Presiden dan Kapolri bergerak di koridor konstitusi, maka tekanan politik kehilangan daya. Pemerintah tidak melawan isu dengan debat, tapi dengan hasil kerja yang bisa diukur,” kata Haidar Alwi.

Pola Jebakan Politik yang Terulang.

Menurut Haidar Alwi, jebakan politik modern selalu dimulai dengan narasi moral yang tampak benar. Isu dikemas seolah demi kepentingan rakyat, lalu digiring menjadi tekanan agar pemerintah tergesa-gesa. Setelah itu, setiap langkah pemerintah dipelintir menjadi kesalahan.

“Jika Presiden cepat bertindak, mereka menuduh otoriter. Jika Presiden menunggu prosedur, mereka menuduh lamban. Tujuannya bukan mencari solusi, melainkan menciptakan keraguan publik terhadap negara. Inilah bentuk baru dari politik tekanan yang menggerus kepercayaan,” kata Haidar Alwi.

Keputusan Prabowo menjawabnya dengan desain kebijakan adalah bentuk kecerdasan politik tingkat tinggi. Pemerintah tidak menolak kritik, tetapi menjadikannya bahan reformasi yang terukur. Dalam pola seperti ini, kekuatan tidak diukur dari respons emosional, melainkan dari konsistensi menjalankan hukum.

Stabilitas Pemerintahan dan Kepercayaan Rakyat.

Pendekatan konstitusional yang diambil Presiden Prabowo menghasilkan stabilitas nyata. DPR tetap solid, aparat keamanan terkoordinasi, dan Polri mendapat ruang aman untuk memperbaiki diri tanpa intervensi opini. Masyarakat melihat bukti, bukan wacana.

“Pemerintahan yang kuat bukan yang paling keras suaranya, tapi yang paling jernih langkahnya. Prabowo dan Kapolri telah menunjukkan sinergi itu: menegakkan hukum tanpa kehilangan empati, memperkuat aparat tanpa menekan demokrasi,” tegas Haidar Alwi.

Keseimbangan antara ketegasan dan rasionalitas inilah yang membuat pemerintahan Prabowo mampu melewati tekanan politik tanpa kehilangan legitimasi.

Haidar Alwi mengingatkan bahwa kekuatan terbesar negara terletak pada rakyat yang mampu berpikir jernih. Menurutnya, rakyat yang kritis namun adil akan menjadi tembok terakhir dari manipulasi politik.

““Kita boleh kecewa, tapi jangan kehilangan arah. Boleh berbeda pendapat, tapi jangan kehilangan rasa hormat. Demokrasi hanya akan bertahan bila rakyatnya sabar dan rasional. Ketika masyarakat tidak mudah diprovokasi, maka konstitusi bekerja sebagaimana mestinya,” kata Haidar Alwi.

Kedewasaan rakyat dalam menilai situasi menjadi penentu utama keberhasilan reformasi tanpa harus memecah bangsa.

Dari isu darurat militer hingga reformasi Polri, Indonesia telah menunjukkan kematangan politik dan hukum yang penting bagi masa depan. Pemerintah bertindak dengan kepala dingin, Polri berbenah dengan disiplin, dan rakyat belajar menilai dengan akal sehat. Semua itu menandakan bahwa kekuatan bangsa ini bukan pada reaksinya, tetapi pada ketenangan dalam menghadapi tekanan.

“Bangsa ini tidak akan tumbang oleh krisis, selama hukum menjadi arah dan rakyat tetap waras dalam menilai. Kita boleh berbeda pendapat, tapi jangan kehilangan cinta pada negeri sendiri. Sebab Indonesia tidak membutuhkan pemimpin yang sempurna, melainkan pemimpin yang berani berpikir di tengah tekanan dan tetap jernih ketika diserang. Itulah cara menjaga marwah republik: dengan tenang, dengan logika, dan dengan hati yang tidak mudah diadu oleh kepentingan,” pungkas Haidar Alwi. **

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *