Postur Kabinet Prabowo-Gibran Terlalu Obesitas, Roda Pemerintahan Bakal Berjalan Lamban

Diskusi Ekonomi Politik Kabinet Prabowo-Gibran.

JAKARTA, Mediakarya – Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Dr Fadhil Hasan menilai, meski Prabowo Subianto dalam visinya ingin pemerintahnya bergerak cepat dalam menjalankan program kerjanya, namun dalam pelaksanaanya diprediksi tidak akan berjalan dengan baik.

Hal itu lantaran postur kabinet di pemerintahan Prabowo-Gibran yang super gemuk tersebut dinilai dampaknya akan akan dirasakan dalam 1-2 tahun ke depan, selain soal inefisiensi juga harus  menjadi perhatian serius bagi kabinet Merah Putih.

Sementara itu, terkait dengan koordinasi kerap menjadi maslah, sebagaimana yang pernah dilakukan presiden-presiden sebelumnya. Sebab koordinasi adalah persoalan pokok dalam menjalankan berbagai kebijakan dan program.

“Dengan kabinet super gemuk plus berbagai menteri koordinator dan badan, maka koordinasi kemungkinan besar sulit. Siapa bertanggungjawab, dan satu dengan lainnya timbul overlapping,” ungkap Fadhil dalam sambutannya saat diskusi publik “Ekonomi Politik Kabinet Prabowo-Gibran” pada Selasa (2210/2024).

Sementara, permasalah lain adalah soal  kewenangan. Misalnya Menko Pangan, akan overlap dengan Kemenko Perekonomian yang juga terkait pangan. “Bagaimana kewenangan itu akan dibagi? akan timbul soal ini di antara para menteri,” katanya.

Padahal Prabowo sendiri pernah menegaskan bahwa dirinya akan membentuk Zaken kabinet, seharusnya ditampilkan dalam formasi kabinet sekarang. Tetapi justru lebih banyak akomodasi politik dibanding warna zaken kabinet. Maka dari itu kabinet akan seperti ‘’lame duck’’, kelumpuhan seperti bebek duduk karena soal koordinasi, kewenangan, dan lain-lain.

Lebih lanjut, tantangan dari 8 program Astacita Prabowo-Gibran, ada 17 program prioritas, dan 8 program hasil terbaik tetap 2024-2029. Di antaranya Makan Bergizi Gratis (MBG), kesehatan, produktivitas lahan pertanian, pendidikan, kartu kesejahteraan, menaikkan gaji ASN, infrastruktur desa (7 Program) dan mendirikan badan penerimaan negara, meningkatkan rasio penerimaan tax ratio menjadi 23%.

Sementara, kata Fadhil, program-program tersebut membutuhkan anggaran cukup besar. diharapkan, dana-dana untuk program itu didapatkan dari badan penerimaan negara/tax ratio.

Persoalannya, program pembentukan badan penerimaan negara itu kini telah punah dengan dipilihnya kembali Sri Mulyani (SMI) menjadi Menteri Keuangan. karena belum ada track record Sri Mulyani dalam peningkatan tax ratio.

“Jadi ada semacam kontradiksi antara spending yang harus dikeluarkan untuk pelaksanaan ke 7 program di atas dengan potensi peningkatan tax ratio 23 % via pembentukan badan penerimaan negara,” pungkasnya. **

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *