Daerah  

Gedung Satu Atap Mangkrak, Potret Gagalnya Tata Kelola dan Komitmen Publik Pemkab Sukabumi

Oleh : Akmal Fajriansyah

Penulis: Koordinator Aliansi Masyarakat Pemerhati Hukum

SUKABUMI – Sudah lebih dari lima tahun berlalu sejak pembangunan Gedung Satu Atap atau Gedung Kantor Pemerintah Kabupaten Sukabumi di kawasan Cangehgar, Palabuhanratu, mulai digagas dan dibangun. Proyek ini semula dirancang sebagai pusat pemerintahan terpadu, simbol modernisasi pelayanan publik, serta manifestasi dari janji-janji reformasi birokrasi. Namun yang terlihat hari ini jauh dari cita-cita tersebut. Gedung megah itu terbengkalai. Proyeknya mangkrak. Dan yang tersisa hanyalah kerangka beton tanpa fungsi, berdiri di atas tumpukan uang rakyat yang telah terpakai tanpa hasil nyata.

Berdasarkan data yang tercatat dalam Layanan Pengadaan Secara Elektronik (LPSE) Kabupaten Sukabumi, hingga tahun anggaran 2024, pembangunan Gedung Satu Atap telah menghabiskan lebih dari Rp172 miliar dari APBD secara bertahap sejak 2019. Angka itu bukan jumlah kecil, apalagi di tengah berbagai keterbatasan fiskal daerah. Sayangnya, hingga pertengahan 2025, gedung tersebut belum juga rampung, apalagi difungsikan. Papan nama proyek telah lama diturunkan, namun pengerjaan tidak kunjung diselesaikan. Ini bukan hanya soal keterlambatan teknis, tetapi bentuk nyata dari stagnasi perencanaan, dan kegagalan total dalam eksekusi kebijakan publik.

Pemerintah Kabupaten Sukabumi berdalih bahwa pandemi COVID-19, pemilu, dan kebutuhan belanja rutin ASN menyebabkan refocusing anggaran. Namun penjelasan itu semakin hari justru menegaskan ketidakmampuan pemerintah dalam menata prioritas pembangunan. Di daerah lain, pandemi tidak serta-merta menjadi alasan pembiaran terhadap proyek strategis. Yang dibutuhkan adalah pengelolaan anggaran yang terencana, rasional, dan akuntabel—bukan alasan klise yang terus diulang demi menutupi kegagalan. Lebih mengkhawatirkan lagi, Pemerintah Kabupaten Sukabumi tampak tidak menunjukkan sense of urgency terhadap kondisi ini

Tidak ada forum pertanggungjawaban terbuka kepada publik, tidak ada transparansi terhadap kendala teknis dan administratif, bahkan tidak ada kepastian hukum terhadap kelanjutan proyek. Masyarakat hanya disuguhi jawaban datar: “nanti akan dilanjutkan bila anggaran tersedia.” Padahal proyek sudah berjalan sejak dua periode pemerintahan kepala daerah, dan anggaran yang terserap sudah melampaui angka fantastis.

Aliansi Masyarakat Pemerhati Hukum memandang bahwa mangkraknya Gedung Satu Atap bukan sekadar soal bangunan kosong. Ini adalah potret buruk dari kegagalan pemerintah daerah dalam menjalankan prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Pembangunan seperti ini menciptakan kerugian ganda: kerugian anggaran dan kerugian kepercayaan. Ketika masyarakat melihat bahwa proyek sebesar ini dibiarkan terbengkalai tanpa evaluasi terbuka, maka yang runtuh bukan hanya beton, tapi juga legitimasi moral pemerintah di mata publik.
Pemerintah Kabupaten Sukabumi harus sadar bahwa proyek ini adalah cermin wajah pemerintahan itu sendiri. Gedung Satu Atap seharusnya menjadi pusat pelayanan publik yang efisien dan profesional. Tapi kini justru menjadi simbol pemborosan anggaran, perencanaan yang sembrono, dan lemahnya komitmen terhadap tanggung jawab publik. Jika Pemkab tetap membiarkan proyek ini mangkrak tanpa penyelesaian, maka jangan salahkan masyarakat bila mulai mempertanyakan kapasitas dan integritas pemerintah secara menyeluruh.

Sudah saatnya Bupati dan seluruh jajaran OPD terkait menyatakan sikap tegas. Audit independen harus segera dilakukan. Evaluasi menyeluruh terhadap pelaksana proyek, penyedia jasa konstruksi, serta perangkat pengendali internal mutlak diperlukan. Dan jika terdapat unsur kelalaian administratif, wanprestasi, atau bahkan potensi pelanggaran hukum, maka proses penegakan hukum harus dijalankan, bukan sekadar dijanjikan.

Di tengah tuntutan efisiensi dan transparansi anggaran, proyek sebesar Gedung Satu Atap tidak bisa dibiarkan menjadi beban warisan pemerintahan. Ia harus dituntaskan, dan harus menjadi pelajaran kolektif tentang bagaimana seharusnya pemerintah daerah merancang, mengelola, dan mempertanggungjawabkan proyek publik. Karena pembangunan bukan sekadar kerja teknis, tetapi kontrak moral antara pemerintah dan rakyatnya. Dan jika kontrak itu dilanggar, maka konsekuensinya bukan hanya soal bangunan mangkrak tetapi runtuhnya kepercayaan publik yang selama ini menjadi fondasi dari pemerintahan yang demokratis. (eka)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *