Oeh: Khudori
Pemberitaan beras oplosan semakin masif. Dimulai awal Juli 2025, pemberitaan mengalir bagai bola salju. Makin lama makin membesar. Bukan hanya oleh media online, tapi juga radio, televisi, dan media cetak. Paparan berita dari segala penjuru itu menciptakan kekhawatiran di tengah masyarakat. Terutama masyarakat konsumen.
Di sejumlah daerah, konsumen menghentikan pembelian beras bermerek yang biasa disantap keluarga. Pemberitaan yang mengaitkan beras oplosan dengan risiko kesehatan membuat konsumen makin waswas. Diyakini, beras oplosan bisa memiliki dampak panjang terhadap kesehatan. Inilah yang kemudian membuat pedagang beras di pasar di berbagai daerah menghentikan menjual beras bermerek. Mereka resah dan khawatir dipersalahkan.
Ihwal beras oplosan pertama kali disampaikan Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman dalam konferensi pers di Kementerian Pertanian, Jakarta Selatan, dalam rangka Hari Krida Pertanian, 30 Juni 2025. Saat itu ia merespons pertanyaan wartawan. Amran menjelaskan, beras Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) yang beredar di pasar adalah hasil oplosan. Beras program pemerintah itu dioplos jadi beras premium.
Menurut laporan dari bawah yang dia terima, sekitar 80% beras SPHP dioplos. Hanya 20% yang dipajang sesuai aturan. Ini terjadi karena setelah di kios tak ada instrumen untuk mengontrol. “Beras SPHP dioplos jadi beras premium. Kalau 1,4 juta ton dikalikan 80% itu 1 juta ton. 1 juta ton dikalikan Rp2.000 (per kg), jadi Rp2 triliun. Itulah kerugian negara dalam satu tahun akibat kecurangan ini,” ujar dia.
Beras SPHP adalah beras milik pemerintah. Beras ini dikelola BULOG. Tahun 2023 dan 2024, kualitasnya premium. Beras, antara lain digunakan untuk bantuan bencana, kebutuhan darurat, dan operasi pasar. Ketika dilepas untuk operasi pasar, beras dijual di bawah harga pasar. Tujuannya untuk menurunkan harga beras yang naik, setidaknya menahan kenaikan harga. Ketika dioplos dengan beras berkualitas lebih rendah lalu dilabeli atau dijual dengan harga premium, potensial untung besar.
Kapan penyaluran beras SPHP mencapai 1,4 juta ton? Tahun 2024. Persisnya mencapai 1.401.732 ton. Jadi, patut diduga, sebesar 1 juta ton beras SPHP diduga dioplos itu waktu kejadiannya tahun lalu. Bukan tahun ini. Itu pun perlu dipastikan apakah benar yang dioplos mencapai 80% dari 1,4 juta ton. Karena persentase ini amat besar.
Tahun ini beras SPHP kembali disalurkan pada 12 Juli 2025 setelah lebih 5 bulan distop. Beras SPHP sempat disalurkan pada Januari dan minggu pertama Februari 2025, lalu distop. Jumlah penyaluran 181.192 ton beras. Ketiadaan penjelasan waktu kejadian beras SPHP dioplos membuat penafsiran jadi liar yang berbuah keresahan.
Ihwal apakah 212 merek beras, yang diberitakan diduga melakukan tiga pelanggaran –mengurangi timbangan, menurunkan mutu, dan menjual di atas HET– termasuk mengoplos beras SPHP perlu dipastikan apakah betul terbukti ada campuran beras SPHP di dalamnya? Atau hanya temuan kualitas yang tidak sesuai dan atau timbangan yang kurang? Ini perlu diluruskan agar tidak keliru memahami hingga berujung keresahan.
Soal ‘mengurangi timbangan’ perlu diperjelas apa maksudnya. Apakah beras yang tertulis di label berat 5 kg dan isinya 4.980 gram alias kurang 0,3% tergolong ‘mengurangi timbangan’? Beras, merujuk regulasi, termasuk Produk Segar Asal Tumbuhan (PSAT). Selama penyimpanan kadar air bisa turun yang akan mengurangi berat bersih beras. Tiap alat timbang juga ada toleransi kalibrasi yang perlu dipertimbangkan.
Dan ‘mengurangi timbangan’ itu bukan karena dioplos atau tidak. Beras tidak dioplos pun bisa tidak sesuai takaran: antara label dengan isi. Ihwal kandungan broken saat diuji dan disebut sebagai pelanggaran mutu juga perlu ada toleransi. Karena, hemat saya, tidak ada sistem pemisahan beras utuh dan patahan secara tepat 100%, demikian pula mesin pencampurannya. Lebih dari itu, masih banyak penggilingan yang tidak memiliki dan menggunakan sistem modern pemisahan dan pencampuran beras dan patahannya. Dalam pengemasan, transportasi, dan bongkar juga berpotensi menambah broken atas beras yang sudah terkemas.
Ihwal derajat sosoh, selama proses penggilingan juga bisa terjadi peningkatan atau penurunan. Untuk penggilingan modern, sebagian besar memiliki alat milling meter untuk menjaga kisaran derajat sosoh. Untuk penggilingan yang belum bisa mengadakan peralatan ini biasanya mengandalkan visual mata, yang tentu berbeda kemampuannya dengan alat yang terkalibrasi. Maka, dalam konteks ini, tentu harus ada toleransi dalam menilai kisaran derajat sosoh yang dianggap sebagai pelanggaran serius.
Kembali ke soal ‘oplos-mengoplos’ seperti judul tulisan ini, di industri perberasan ini adalah aktivitas normal. Oplos-mengoplos adalah bagian dari proses bisnis. Hanya saja, kata ‘oplos’ sudah kadung bercitra negatif dan buruk. Padahal, oplos itu sama dengan mencampur. Aktivitas mencampur tidak hanya terjadi di beras, tapi juga di kopi dan teh misalnya. Barista, misalnya, harus meracik campuran kopi untuk mendapatkan rasa, aroma, dan sensasi tertentu. Hal serupa juga terjadi pada teh.
Di industri perberasan, gabah yang diolah di penggilingan akan menghasilkan beras utuh atau butir kepala, beras pecah atau butir pecah, dan menir. Juga dedak/bekatul (rice bran) dan sekam. Sesuai Peraturan Badan Pangan Nasional No. 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras, kelas mutu beras dibagi jadi beras premium, beras medium, beras submedium, dan beras pecah. Mutu beras ditentukan atas dasar kriteria keamanan, kandungan gizi, organoleptik, fisik, dan komposisi.
Beras yang diedarkan harus bebas hama, bebas bau apak, asam, dan bau asing lain serta memenuhi syarat keamanan. Syarat kelas mutu premium antara lain derajat sosoh minimal 95%, maksimal kadar air, butir patah, dan butir menir masing-masing 14%, 15%, dan 0,5%. Untuk membuat beras premium, penggilingan atau pedagang harus mencampur maksimal butir patah 15% dan maksimal butir menir 0,5%. Hal serupa dilakukan tatkala hendak memproduksi beras medium. Oplos ini bukan pelanggaran.
Selain itu, ketika penggilingan membeli gabah petani dari hamparan sawah bisa dipastikan varietas padinya tidak sama. Artinya, sejak di hulu sebetulnya bahan baku beras telah teroplos. Seandainya ada rice estate dalam hamparan luas kemurnian varietas padi bisa dijamin. Lalu, aktivitas mencampur beberapa jenis beras dimaksudkan untuk memperbaiki rasa dan tekstur sesuai preferensi konsumen. Beras pera harus dicampur dengan yang pulen manakala menyasar konsumen yang suka pulen.
Mencampur atau mengoplos yang dilarang adalah untuk menipu. Misalnya, mencampur 70% beras Cianjur dengan 30% beras Ciherang yang kemudian diklaim 100% beras Cianjur dan dijual dengan harga beras Cianjur, yang memang lebih mahal ketimbang Ciherang. Atau mencampur beras dengan bahan tidak lazim atau sudah rusak kemudian dikilapkan atau dipoles ulang agar tampak bagus kembali, padahal mutunya sudah menurun. Bisa juga mencampur dengan pengawet berbahaya. Ini semua bisa dikenai delik penipuan.
Uraian panjang lebar ini hendak mengatakan: perlu memahami secara utuh ihwal oplos-mengoplos beras. Ada sisi-sisi teknis yang tidak dipahami publik awam. Memaknai oplos secara negatif telah menimbulkan keresahan, terutama masyarakat konsumen. Produsen pun jadi sasaran tembak. Regulator harus mengedukasi publik guna memulihkan kepercayaan. Bersamaan dengan itu, regulator perlu sosialisasi kepada stakeholders perberasan, termasuk ihwal UU Perlindungan Konsumen. Agar semua pihak mendapat informasi yang lebih baik dan dapat bertindak sesuai hak dan kewajibannya.
Untuk itu, sebaiknya pemerintah tidak menarik-narik Satgas Pangan untuk menjadi polisi ekonomi. Pendekatan keamanan ini sudah dilakukan sejak 1950-an dan tidak berhasil. Pendekatan ini telah menempatkan pelaku usaha sebagai ‘musuh negara’, yang dikhawatirkan akan menimbulkan ketidakpastian usaha. Karena itu, sebaiknya Ditjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan yang berada di depan. Kalau ditjen ini menemukan tindak kecurangan, barulah diserahkan ke penegak hukum.
Penulis: Pengamat Ekonomi dan pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)