Akankah Ojol Hanya Jadi Budak Algoritma?

Ribuan awak ojol saat melakukan aksi di Jakarta pada Selasa (20/5/2025).

JAKARTA, Mediakarya – Ketika Presiden berbicara tentang ekonomi kerakyatan dan kesejahteraan digital, para pengemudi ojek online justru hidup dalam bayang-bayang potongan aplikasi sebesar 30%.

Ironisnya, angka ini melanggar Kepmenhub No. 1001 Tahun 2023 yang secara tegas membatasi potongan maksimal hanya 20%. Tapi lebih ironis lagi, negara diam.

Sekretaris Pendiri Indonesian Audit Watch (IAW), Iskandar Sitorus menilai, Kementerian Perhubungan tak ubahnya juru tulis kebijakan, hanya bisa membuat regulasi, tapi tak menegakkannya.

Hal ini diperkuat oleh temuan LHP BPK No. 09/LHP/XXIII/06/2023 yang menyebut Kemenhub lalai mengawasi implementasi aturan potongan dan tidak punya mekanisme audit alokasi potongan aplikator.

Sementara itu, Gojek (anak usaha GoTo), tanpa ragu menyatakan menolak usulan potongan 10%, dan justru meminta mitra menerima status quo 30%. Dalihnya untuk “promosi dan teknologi”. Apakah dalih itu benar adanya, mari kita buka faktanya:

Realitas Audit Dan Keuangan

Iskandar mengungkapkan, berdasarkan laporan keuangan GoTo menunjukkan laba bersih Rp 4,2 triliun (naik 120%), tetapi tidak ada rincian transparan mengenai alokasi komisi dari mitra. Hanya 15% dari pendapatan dialokasikan ke riset dan teknologi.

Efisiensi biaya operasional platform telah turun 40% sejak 2021, tapi potongan tetap tidak berubah.

“Ini bukan efisiensi berkeadilan. Ini ekstraksi nilai diam-diam,” ungkap Iskandar kepada Mediakarya, Rabu (21/5/2025).

Sementara, lanjut dia, platform menikmati lonjakan valuasi dan pertumbuhan kapitalisasi pasar, pengemudi ojol menanggung seluruh beban tetap yakni beli kendaraan, bayar BBM, servis, hingga asuransi mandiri.

Rata-rata penghasilan per bulan Rp 2,4–3,6 juta, di bawah UMP DKI Rp 5 juta.

“Tidak ada jaminan sosial formal, padahal mereka adalah tulang punggung sistem logistik harian urban,” jelas Iskandar.

Terkait dengan permasalahan tersebut, IAW menilai bahwa negara absen dalam menyikapi gejolak dan keluhan dari awak ojol. Bahkan, regulasi dituding tak bertaji.

Seperti, Kepmenhub No. 1001/2023 hanya memberi batasan, tapi tidak menetapkan sanksi pidana atau administratif. Putusan PTUN No. 77/2023 bahkan telah memerintahkan agar Kemenhub merevisi Kepmenhub dengan memasukkan klausul sanksi, tapi itu belum juga dijalankan.

“BPK telah merekomendasikan pembentukan Sistem Monitoring Real-Time, tapi hingga 2024 belum terwujud,” katanya.

Untuk itu, Indonesian Audit Watch memberikan beberapa rekomendasi antara lain:

1. Audit secara terbuka terhadap struktur biaya aplikator. Rincian promosi, teknologi, dan potongan harus disampaikan ke publik dan Kemenhub.

2. Model bagi hasil proporsional:

Sliding fee: 20% untuk jam kerja rendah, 10–15% untuk pengemudi aktif di atas 40 jam/minggu.

3. Sanksi administratif dan pidana terhadap aplikator yang melanggar regulasi.

4. Penyusunan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Digital, agar tidak terus-menerus menjadi korban algoritma.

Apakah Pemerintah Berani Mengatur?

“Jika negara tak mampu mengatur potongan tarif ojol, maka ia gagal mengatur keadilan di era digital,” tegas Iskandar.

Dia menilai bahwa potongan 30% bukan sekadar angka. Ia adalah simbol dari ketimpangan struktural, diamnya negara, dan kemenangan narasi korporasi atas keadilan sosial. Dan jika ini dibiarkan, maka Indonesia bukan lagi negara hukum, melainkan negara algoritma.

Lebih lanjut, IAW menyarankan jika benar pemerintah ingin membangun ekonomi digital berbasis kerakyatan, maka mulailah dari yang paling konkret yaitu tarif yang adil untuk ojol.

“Karena mereka bukan sekadar “mitra”, sesungguhnya mereka adalah infrastruktur hidup dari transportasi nasional,” pungkas Iskandar Sitorus. (Hb)

Exit mobile version